Laras.
Aku mengenalnya dari temanku pada awal tahun 2014. Sejak hari pertemuan pertama
kami di bangku putih biru, aku sudah jatuh hati kepadanya. Pertemuan memalukan.
Ia menegurku karena melihat resleting celanaku terbuka. Ah, kalau mengingat
itu, aku malu sekali.
Laras
bukanlah gadis seperti biasanya. Dia cantik, matanya yang sipit selalu
memancarkan keceriaan. Dia kecil, seperti anak-anak. Walau begitu,
kekanak-kanakannya lah yang membuatku jatuh hati padanya. Kalau kata
teman-temanku, “Laras cantik banget. Bodynya aduhai, punya aset masa depan
lagi”. Tetapi bukan itu yang membuatku tertarik padanya. Auranya yang
memancarkan warna hijau solid, penuh kasih sayang. Jika suatu hari nanti aku
menjalin hubungan dengannya, dia pasti akan sangat menyayangiku.
Aku
jatuh hati padanya saat kelas satu SMP, aku mengetahui namanya saat kelas tiga SMP
semester dua, dan aku baru bisa mendapatkannya saat kelas satu SMA. Butuh perjuangan
yang ekstra untuk menaklukkan hati seorang wanita cantik dengan aura hijau. Dan
benar saja, dia sangat penyayang. Dia jarang mengucapkan kata cinta, tetapi dia selalu menunjukkan rasa sayangnya kepadaku melalui tindakannya.
Dua
hal yang tidak aku senangi dari pacarku itu. Posesif dan pencemburu. Dia selalu
menanyakan kemana dan dengan siapa aku pergi. Jika aku mengatakan akan pergi
mengerjakan tugas kelompok dengan teman wanitaku, dia akan memasang wajah
badmood, dimana ada kekhawatiran di matanya.
“Kamu
tenang aja, aku tidak berdua dengan dia saja kok. Kami ber-enam” kataku
meyakinkannya.
“Tapi
kamu menjemput dia naik motor kamu. Harusnya, hanya aku cewe yang boleh kamu
jemput dengan motor kamu. Gak bisa suruh yang lain apa?”
“Laras”
aku memegang kedua bahunya sambil menatap matanya dalam. “Siapapun yang aku
jemput dan duduk dibelakang motor aku, kamu tetap nomor satu di hatiku, sayang”
****
29
September 2016. Dua tahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Banyak suka
duka telah kami lalui. Perbedaan pendapat, prinsip, dan kesalahpahaman
menguatkan hubungan kami.
Dia,
Larasku sejak tahun 2014 sampai akhir hayatku.
Hingga
suatu waktu, hatiku sempat goyah. Cintaku mulai terbagi.
Entah
mengapa Tuhan mengirimkan malaikat itu pada saat aku sudah meyakinkan Laras
sebagai masa depanku.
Tasha.
Dia tidak secantik Laras. Tapi hatinya lebih cantik. Warna auranya lebih indah.
Tasha jauh lebih dewasa daripada Laras. Gradasi merah jingga ungu. Tasha gadis
yang peduli dengan siapa saja, pemimpin yang bijaksana, percaya diri, optimis,
dan spiritualis yang tinggi. Matanya yang bello memancarkan ketenangan dan
damai. Dia kecil, tetapi tidak kekanak-kanakan. Dia tidak memiliki body dan
aset seperti Laras, tetapi tetap saja aku pernah jatuh hati kepadanya.
Aku
mengenalnya sejak awal kelas tiga SMA. Aku duduk di kelas yang sama dengannya,
kelas tiga IPA lima. Jika aku menjalin hubungan dengannya, mungkin dia menjadi
pribadi yang lebih pengertian dari aku, dia bukan saja bisa menjadi pendengar
yang baik seperti Laras, dia bisa jadi penasihat yang baik.
Aku
banyak mengetahui tentang Tasha dari cerita temanku, Arvin.
“Tasha
itu baik. Biarpun dia cewe, dia bisa memahami permasalahan gue. Dia tempat
curhat yang baik, Di. Gue banyak belajar dari dia” kata Arvin memuji Tasha.
Benar
kata Arvin. Dia bisa memahami permasalahan lelaki maupun wanita. Dia bisa
memandang segala hal dari dua sisi.
“Coba
aja, gue bisa jadi cowo yang lebih bijak dan dewasa dari dia, gue pasti bisa
jadi pacarnya Tasha” kata Arvin membuatku menatapnya tidak percaya.
“Vin?
Lu udah punya Oliv? Dan lu masih menginginkan Tasha?”
Arvin
menghela nafas panjang. “Iyasih, Di. Oliv itu cantik, punya body bagu yang
lebih bagus dari Tasha. Dan manja. Gue seneng sih bisa manjain dia, tapi
terkadang sikap manjanya dia menjadikan dia pribadi yang kekanak-kanakan, Di.
Kalau cewe untuk masa depan, gue butuhnya kayak Tasha, Di. Kalau Tasha mau
sama gue, gue berani mutusin Oliv”
“Vin?
Lu gila ya?” tanyaku tidak percaya. Oliv sangat mencintai Arvin. Dan Oliv
benar-benar ingin menjadikan Arvin pelabuhan yang terakhirnya. Tetapi Arvin
berkata seperti itu.
“Bacot
lu, Di. Lu juga pasti punya pemikiran kayak gue kan” katanya. “Laras sama Oliv
mah gajauh beda. Dan gue kenal siapa lu, Di”.
Iyasih,
benar kata Arvin.
“Heh.
Tapi gue gapunya niat mutusin Laras” bantahku.
****
Pernah
suatu hari, kelasku mendapat project membuat film pendek. Aku satu kelompok
dengan Tasha. Dan kebetulan, aku dan Tasha dipilih untuk menjadi pasangan dalam
film tersebut. Awalnya aku dan Tasha saling menolak. Kami sama-sama mengatakan
kalau kami tidak jago akting, apalagi jika akting jadi pasangan dan pemeran
utama.
“Ih
gapapa, lu berdua tuh udah paling cocok tau” ucap Nia meyakinkanku dan teman
kelompok lainnya. Aku dan Tasha hanya bisa pasrah.
Hal
itu sempat membuat hubunganku dan Laras retak. Dia cemburu. Aku berusaha membujuknya
tetapi tidak bisa. Akhirnya, saat kelas Laras mendapat tugas project tersebut,
Laras menawarkan diri untuk menjadi pasangan bersama David di film pendek
tersebut.
“Di”
gumam Tasha dengan nada khawatir.
“Ya?”
kataku menatap matanya.
“Sebenarnya
gue gaenak sama cewe lu. Maafin gue ya. Gue gabisa meyakinkan yang lain kalau
kita gapantes jadi pasangan” katanya.
“Udah
elah selaw kali. Lagian ini kan cuma drama” balasku.
“Lu
gadimarahin sama cewe lu kan?” tanyanya sambil menatapku dalam.
Kalau
dalam keadaan seperti ini, aku bingung harus berbuat apa. Aku semakin bisa
melihat warna auranya. Menatap matanya. Tuhan, kenapa kau biarkan malaikat ini
menatapku.
****
Aku
jatuh hati sejak aku menjadi kekasihnya dalam film pendek itu. Aku jatuh hati
sejak mengenalnya lebih dalam. Aku jatuh hati sejak aku mulai banyak berdiskusi
dan bercanda dengannya. Cintaku terbagi. Tetapi, Laras tetap kekasihku.
Aku
semakin jatuh hati, ketika mengetahui bahwa ia menyukaiku juga. Auraku dan
auranya bersahabat. Terlihat jelas dari tatapannya yang memancarkan gradasi
warna merah, jingga, ungu.
Pernah
suatu hari, aku melihat buku kumpulan puisinya terbuka diatas mejanya. Aku
iseng membolak-balik bukunya. Aku menemukan 2 puisi dan 1 ungkapan ini.
Sebatas
pandangan
Kau tahu titik?
Begitulah kau dipandanganku
Sedekat apapun jarak kita
Kau hanya sebatas titik
Aku ingin memperbesarmu
menjadi garis, bentuk, dan bangun
Tapi apa daya
Dia menutupimu dari
pandanganku
Aku ingin menyingkirkan dia
terlebih dahulu
Tapi aku bukan orang jahat
Aku hanyalah seorang wanita
biasa
Yang tak memiliki aura
sepertinya
-T.Arc-
|
Ada cinta di matamu. Entah itu untukku atau dia, tetapi aku yakin, kita
bersahabat.
Hatiku menginginkan hatimu yang tertutupi padang rumput nan hijau.
-T.Arc-
|
Hati
yang tak tahu diri
Lalu bagaimana dengan hatiku
yang tak tahu diri ini?
Tak pernah ingin singgah di
rumah tak bertuan
Tak ingin melirik ruang hampa
Niat untuk mengisi kehampaan
dinding tak ada
Bagaimana mungkin
Aku harus merusak
warna warni kenangan mereka
Menciptakan jarak diantara
mereka
Dan aku menjadi parasit
Bagaimana mungkin
Aku merobek warna warni
gantungan dinding
Kubuang, dan ku gantung yang
baru
Aku selalu gagal membujuk
hati
Hati yang tak tahu diri
Kepadamu yang bertuan dan
tuanmu
Maafkan aku
Tak bisa mengendalikan hatiku
Maafkan hatiku
Hati yang tak tahu diri ini
-T.Arc-
|
Aku semakin gelisah membaca puisi dan ungkapan itu. Hatiku semakin goyah. Laras atau Tasha. Aku sudah terlalu sayang Laras. Dan Laras terlalu mencintaiku. Sudah banyak kenangan manis yang aku ciptakan dengannya. Laras, hatinya terlalu rapuh jika kusakiti. Posesifnya Laras kadang membuatku jengkel, tetapi hal itu yang menunjukkan dia mencintaiku. Laras yang kanak-kanak tapi menggemaskan.
Tasha.
Gadis sederhana tapi luar biasa. Pemimpin yang bijaksana, peduli, peka,
dan selalu mengimbangi kehidupan duniawi dan spiritualitas. Dewasa. Siapapun
yang mengenalnya akan menjadikannya guru dan tempat curhat yang handal. Banyak
hal baru yang kudapat darinya. Hatinya terlalu rapuh, tetapi dia bijak
menyikapinya.
Kalau
aku meninggalkan Laras untuk Tasha, Laras akan menjadi pribadi yang murung,
pendendam, suka melamun, dan menjadikan tiap malam sebagai waktu yang tepat
untuk menangis. Kalau aku menjauhi Tasha untuk Laras, Tasha akan menjadi
pribadi yang diam, murung, dan aura gradasinya akan pudar dalam waktu tujuh
hari. Tujuh hari. Tasha hanya butuh tujuh hari menjadi orang lain untuk
mengobati rasa sakitnya. Hari kedelapan, Tasha akan memperbaharui dirinya
menjadi Tasha dengan aura gradasi yang lebih mantap.
“Tasha,
gadis gradasi yang mencari cinta. Berdoalah, supaya aku tidak menjadi cintamu.
Cari cinta yang lain”-Aldi-
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar