Minggu, 20 November 2016

Hijau dan Gradasi




Laras. Aku mengenalnya dari temanku pada awal tahun 2014. Sejak hari pertemuan pertama kami di bangku putih biru, aku sudah jatuh hati kepadanya. Pertemuan memalukan. Ia menegurku karena melihat resleting celanaku terbuka. Ah, kalau mengingat itu, aku malu sekali.
Laras bukanlah gadis seperti biasanya. Dia cantik, matanya yang sipit selalu memancarkan keceriaan. Dia kecil, seperti anak-anak. Walau begitu, kekanak-kanakannya lah yang membuatku jatuh hati padanya. Kalau kata teman-temanku, “Laras cantik banget. Bodynya aduhai, punya aset masa depan lagi”. Tetapi bukan itu yang membuatku tertarik padanya. Auranya yang memancarkan warna hijau solid, penuh kasih sayang. Jika suatu hari nanti aku menjalin hubungan dengannya, dia pasti akan sangat menyayangiku.
Aku jatuh hati padanya saat kelas satu SMP, aku mengetahui namanya saat kelas tiga SMP semester dua, dan aku baru bisa mendapatkannya saat kelas satu SMA. Butuh perjuangan yang ekstra untuk menaklukkan hati seorang wanita cantik dengan aura hijau. Dan benar saja, dia sangat penyayang. Dia jarang mengucapkan kata cinta, tetapi dia selalu menunjukkan rasa sayangnya kepadaku melalui tindakannya.
Dua hal yang tidak aku senangi dari pacarku itu. Posesif dan pencemburu. Dia selalu menanyakan kemana dan dengan siapa aku pergi. Jika aku mengatakan akan pergi mengerjakan tugas kelompok dengan teman wanitaku, dia akan memasang wajah badmood, dimana ada kekhawatiran di matanya.
“Kamu tenang aja, aku tidak berdua dengan dia saja kok. Kami ber-enam” kataku meyakinkannya.
“Tapi kamu menjemput dia naik motor kamu. Harusnya, hanya aku cewe yang boleh kamu jemput dengan motor kamu. Gak bisa suruh yang lain apa?”
“Laras” aku memegang kedua bahunya sambil menatap matanya dalam. “Siapapun yang aku jemput dan duduk dibelakang motor aku, kamu tetap nomor satu di hatiku, sayang”
****
29 September 2016. Dua tahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Banyak suka duka telah kami lalui. Perbedaan pendapat, prinsip, dan kesalahpahaman menguatkan hubungan kami.
Dia, Larasku sejak tahun 2014 sampai akhir hayatku.
Hingga suatu waktu, hatiku sempat goyah. Cintaku mulai terbagi.
Entah mengapa Tuhan mengirimkan malaikat itu pada saat aku sudah meyakinkan Laras sebagai masa depanku.
Tasha. Dia tidak secantik Laras. Tapi hatinya lebih cantik. Warna auranya lebih indah. Tasha jauh lebih dewasa daripada Laras. Gradasi merah jingga ungu. Tasha gadis yang peduli dengan siapa saja, pemimpin yang bijaksana, percaya diri, optimis, dan spiritualis yang tinggi. Matanya yang bello memancarkan ketenangan dan damai. Dia kecil, tetapi tidak kekanak-kanakan. Dia tidak memiliki body dan aset seperti Laras, tetapi tetap saja aku pernah jatuh hati kepadanya.
Aku mengenalnya sejak awal kelas tiga SMA. Aku duduk di kelas yang sama dengannya, kelas tiga IPA lima. Jika aku menjalin hubungan dengannya, mungkin dia menjadi pribadi yang lebih pengertian dari aku, dia bukan saja bisa menjadi pendengar yang baik seperti Laras, dia bisa jadi penasihat yang baik.
Aku banyak mengetahui tentang Tasha dari cerita temanku, Arvin.
“Tasha itu baik. Biarpun dia cewe, dia bisa memahami permasalahan gue. Dia tempat curhat yang baik, Di. Gue banyak belajar dari dia” kata Arvin memuji Tasha.
Benar kata Arvin. Dia bisa memahami permasalahan lelaki maupun wanita. Dia bisa memandang segala hal dari dua sisi.
“Coba aja, gue bisa jadi cowo yang lebih bijak dan dewasa dari dia, gue pasti bisa jadi pacarnya Tasha” kata Arvin membuatku menatapnya tidak percaya.
“Vin? Lu udah punya Oliv? Dan lu masih menginginkan Tasha?”
Arvin menghela nafas panjang. “Iyasih, Di. Oliv itu cantik, punya body bagu yang lebih bagus dari Tasha. Dan manja. Gue seneng sih bisa manjain dia, tapi terkadang sikap manjanya dia menjadikan dia pribadi yang kekanak-kanakan, Di. Kalau cewe untuk masa depan, gue butuhnya kayak Tasha, Di. Kalau Tasha mau sama gue, gue berani mutusin Oliv”
“Vin? Lu gila ya?” tanyaku tidak percaya. Oliv sangat mencintai Arvin. Dan Oliv benar-benar ingin menjadikan Arvin pelabuhan yang terakhirnya. Tetapi Arvin berkata seperti itu.
“Bacot lu, Di. Lu juga pasti punya pemikiran kayak gue kan” katanya. “Laras sama Oliv mah gajauh beda. Dan gue kenal siapa lu, Di”.
Iyasih, benar kata Arvin.
“Heh. Tapi gue gapunya niat mutusin Laras” bantahku.
****
Pernah suatu hari, kelasku mendapat project membuat film pendek. Aku satu kelompok dengan Tasha. Dan kebetulan, aku dan Tasha dipilih untuk menjadi pasangan dalam film tersebut. Awalnya aku dan Tasha saling menolak. Kami sama-sama mengatakan kalau kami tidak jago akting, apalagi jika akting jadi pasangan dan pemeran utama.
“Ih gapapa, lu berdua tuh udah paling cocok tau” ucap Nia meyakinkanku dan teman kelompok lainnya. Aku dan Tasha hanya bisa pasrah.
Hal itu sempat membuat hubunganku dan Laras retak. Dia cemburu. Aku berusaha membujuknya tetapi tidak bisa. Akhirnya, saat kelas Laras mendapat tugas project tersebut, Laras menawarkan diri untuk menjadi pasangan bersama David di film pendek tersebut.
“Di” gumam Tasha dengan nada khawatir.
“Ya?” kataku menatap matanya.
“Sebenarnya gue gaenak sama cewe lu. Maafin gue ya. Gue gabisa meyakinkan yang lain kalau kita gapantes jadi pasangan” katanya.
“Udah elah selaw kali. Lagian ini kan cuma drama” balasku.
“Lu gadimarahin sama cewe lu kan?” tanyanya sambil menatapku dalam.
Kalau dalam keadaan seperti ini, aku bingung harus berbuat apa. Aku semakin bisa melihat warna auranya. Menatap matanya. Tuhan, kenapa kau biarkan malaikat ini menatapku.
****
Aku jatuh hati sejak aku menjadi kekasihnya dalam film pendek itu. Aku jatuh hati sejak mengenalnya lebih dalam. Aku jatuh hati sejak aku mulai banyak berdiskusi dan bercanda dengannya. Cintaku terbagi. Tetapi, Laras tetap kekasihku.
Aku semakin jatuh hati, ketika mengetahui bahwa ia menyukaiku juga. Auraku dan auranya bersahabat. Terlihat jelas dari tatapannya yang memancarkan gradasi warna merah, jingga, ungu.
Pernah suatu hari, aku melihat buku kumpulan puisinya terbuka diatas mejanya. Aku iseng membolak-balik bukunya. Aku menemukan 2 puisi dan 1 ungkapan ini.

Sebatas pandangan
Kau tahu titik?
Begitulah kau dipandanganku
Sedekat apapun jarak kita
Kau hanya sebatas titik
Aku ingin memperbesarmu menjadi garis, bentuk, dan bangun
Tapi apa daya
Dia menutupimu dari pandanganku
Aku ingin menyingkirkan dia terlebih dahulu
Tapi aku bukan orang jahat
Aku hanyalah seorang wanita biasa
Yang tak memiliki aura sepertinya
-T.Arc-



Ada cinta di matamu. Entah itu untukku atau dia, tetapi aku yakin, kita bersahabat.
Hatiku menginginkan hatimu yang tertutupi padang rumput nan hijau.
-T.Arc-


Hati yang tak tahu diri
Lalu bagaimana dengan hatiku yang tak tahu diri ini?
Tak pernah ingin singgah di rumah tak bertuan
Tak ingin melirik ruang hampa
Niat untuk mengisi kehampaan dinding tak ada
Bagaimana mungkin
Aku harus merusak warna warni kenangan mereka
Menciptakan jarak diantara mereka
Dan aku menjadi parasit
Bagaimana mungkin
Aku merobek warna warni gantungan dinding
Kubuang, dan ku gantung yang baru
Aku selalu gagal membujuk hati
Hati yang tak tahu diri
Kepadamu yang bertuan dan tuanmu
Maafkan aku
Tak bisa mengendalikan hatiku
Maafkan hatiku
Hati yang tak tahu diri ini
-T.Arc-

         Aku semakin gelisah membaca puisi dan ungkapan itu. Hatiku semakin goyah. Laras atau Tasha. Aku sudah terlalu sayang Laras. Dan Laras terlalu mencintaiku. Sudah banyak kenangan manis yang aku ciptakan dengannya. Laras, hatinya terlalu rapuh jika kusakiti. Posesifnya Laras kadang membuatku jengkel, tetapi hal itu yang menunjukkan dia mencintaiku. Laras yang kanak-kanak tapi menggemaskan.
Tasha. Gadis sederhana tapi luar biasa. Pemimpin yang bijaksana, peduli, peka, dan selalu mengimbangi kehidupan duniawi dan spiritualitas. Dewasa. Siapapun yang mengenalnya akan menjadikannya guru dan tempat curhat yang handal. Banyak hal baru yang kudapat darinya. Hatinya terlalu rapuh, tetapi dia bijak menyikapinya.
Kalau aku meninggalkan Laras untuk Tasha, Laras akan menjadi pribadi yang murung, pendendam, suka melamun, dan menjadikan tiap malam sebagai waktu yang tepat untuk menangis. Kalau aku menjauhi Tasha untuk Laras, Tasha akan menjadi pribadi yang diam, murung, dan aura gradasinya akan pudar dalam waktu tujuh hari. Tujuh hari. Tasha hanya butuh tujuh hari menjadi orang lain untuk mengobati rasa sakitnya. Hari kedelapan, Tasha akan memperbaharui dirinya menjadi Tasha dengan aura gradasi yang lebih mantap.
“Tasha, gadis gradasi yang mencari cinta. Berdoalah, supaya aku tidak menjadi cintamu. Cari cinta yang lain”-Aldi-
****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...