Rabu, 28 Desember 2016

End Of December





Setelah lelah dengan rutinitas selama setahun, hari ini aku bisa melepaskan semua kepenatan dengan bertemu mereka, manusia-manusia yang berarti bagiku. Jauh, namun dekat di hati, yang setia mendengar keluh kesahku selama setahun melalui telepon seluler. Sheila, Nadia, Kiki.
Selain mereka, ada juga seorang sahabat yang pernah selalu ada untukku. Sekarang aku tidak pernah komunikasi dengannya. Bukan karena dia sombong atau aku yang sombong, tapi karena kami sama-sama fokus dengan apa yang kami cita-citakan. Sahabat yang pernah dikagumi oleh ketiga sahabatku. Adit namanya.
Berpelukan dan bercerita ini itu. Aku tidak pernah bosan mendengarkan cerita mereka, walaupun ceritanya sama saja seperti tahun lalu, menceritakan hubungan Sheila dan mantannya.
“Lu tau gak Mon? si Sheila itu kalo ketemu sama si Nanda, pasti nempel terus. Dia sampai lupa punya teman” cerocos Nadia paling heboh.
“Apaansih lu? Gue udah gak ada apa-apa ya sama dia. Dia nya aja yang ngejar-ngejar gue” bantah Sheila malu-malu
“Alah. Sama-sama suka juga lu. Gengsi lu aja yang ketinggian. Kalau dia udah taken sama yang lain, nangis darah lu”  tukas Kiki.
Aku hanya tertawa mendengarkan obrolan mereka bertiga. Selalu begitu. Sheila selalu menjadi bahan olok-olokan mereka. Kisah Sheila dengan mantannya selalu kami bahas setiap jumpa akhir tahun. Sheila nan polos, cantik, dan yang paling eksis diantara kami. Sheila pula yang paling seru diolok-olok. Dia tidak pernah marah. Dia hanya membantah dengan ekspresi malu-malu kucing.
Berbeda dengan Nadia, sigadis tomboy yang belum pernah pacaran. “siapa sih cowok yang lu suka itu? Lebih macho gue atau dia? Kalo lebih macho gue, mending lu tingglin aja deh dia” begitulah komentarnya kalau kami cerita tentang lelaki yang kami kagumi.
Kiki. Siratu baper yang melankolis. Dia pernah patah hati sebelum pacaran. Tiga tahun setelah dia patah hati, dia belum pernah jatuh hati lagi. Dia masih mengharapkan manusia yang telah mematahkan hatinya itu walau entah dimana keberadaannya sekarang. “Biarpun dia udah nyakitin gue, tapi gue yakin kalau dia itu jodoh gue” tukasnya saat kami menyindir dirinya yang selalu menolak lelaki yang mendekatinya.
Berbeda dengan diriku. Aku memiliki kisah. Kisah yang aku tidak pernah tahu bagaimana akhir ceritanya.
Sebenarnya sejak awal sampai di gedung serba guna tempat kami merayakan Natal gereja, mataku selalu mencarinya. Dia yang pertama kali kucari bukan ketiga sahabatku. Sudah tiga jam berlalu, aku belum melihatnya.
“eh Mon, lu udah ketemu Adit belum?” tanya Nadia.
Aku menggeleng sambil mencuri pandang ke sekitarku mencari sosoknya.
“oalah. Tadi gue udah ketemu dia loh” ucap Kiki. “Tadi dia nanyain lu loh Mon” lanjutnya.
“Oh ya?” tanyaku.
Kiki mengangguk.
Ternyata dia masih ingat denganku. Aku menunduk sambil tersenyum. Mungkinkah dia rindu denganku?
Sheila memergoki senyuman bahagiaku dan menebak maksud dari senyuman itu, “Lu udah jadian sama Adit ya Mon?”
“Apaansih? Enggak ah” bantahku.
****
Tidak ada yang berubah dari gedung serba gunanya. Masih sama sejak enam tahun terakhir. Aku berjalan mengelilingi gedung yang menyimpan banyak kenangan ini. Kenangan dengan ketiga sahabatku dan dia. Dulu, kami selalu menggunakan gedung ini untuk latihan persiapan Natal. Dulu, aku pernah duduk berdua dengannya di sudut kanan gedung ini. Itu dulu.
Sekarang, aku melihatnya duduk berdua dengan gadis yang tidak asing bagiku. Sheren, kekasihnya saat kelas dua SMA. Entah apa yang aku pikirkan. Yang jelas wajahku berubah.
Mon, mungkin mereka hanya reuni biasa. Sekarang mereka hanya mantan. Aku berusaha menghibur diriku dengan tidak berpikiran negatif. Aku mendekati mereka tanpa sepengetahuan mereka. Aku berusaha mendengar pembicaraan mereka. Dan sekarang, bukan hanya wajahku yang berubah. Pikiranku berubah. Dia bukan lelaki yang baik. Kau tidak butuh dia Mon, pikirku.
Mon, kau kenal dia sejak kecil bukan? Yang sekarang kau lihat bukanlah dirinya yang sesungguhnya Mon, kali ini suara hatiku yang menghiburku.
Aku pun menjauh dari mereka. Setelah bertemu dengan ketiga sahabatku, aku pamit pulang. Aku ingin menenangkan diri.
****
Tiga hari sudah aku di kota kecil ini bersama keluargaku. Aku menghabiskan waktuku bercengkrama dengan orangtua dan sanak saudara yang mengunjungiku. Aku sudah bertemu dan bercerita dengan banyak orang yang kurindukan. Hanya satu sahabat yang belum mengunjungiku.
Hari ini. Hari terakhir di tahun 2016. Aku belum bercerita dengannya. Aku pun memutuskan untuk mengunjungi taman di dekat kompleks perumahanku. Biasanya, sore hari taman itu ramai pengunjung. Banyak keluarga dan teman berkumpul dan menyambut petang di tempat itu.
Taman ini salah satu tempat yang meyisahkan banyak kenangan bagiku. Aku pernah menangis di sini. Aku pernah dihibur di sini. Aku pernah tertawa di sini. Dan aku sering bersamanya di sini. Apa yang kulakukan dan kukatakan dua tahu silam adalah salah. Aku mematahkan hatinya. Dan sekarang, hatiku yang hampir patah.
Itu dia. Yang selalu kurindu. Dia ada di sana. Aku menghampirinya yang sedang berjalan menuju sebelah kiri taman.
“Adit” teriakku mengikutinya dari belakang.
Dia berhenti dan menoleh ke belakang.
Aku tersenyum melihat dia yang sekarang ada di depanku. Dia membawa dua botol minuman.
“Hai” sapanya. “Gue ke sana dulu ya” katanya lalu berlalu.
Sama seperti apa yang kurasakan saat di gedung serba guna beberapa hari lalu. Mendung. Senyumanku diluluhkan oleh rasa kecewa. Ternyata ada Sheren di sana.
Dia bukan Adit sahabatku, pikirku.
****
Setelah misa penutupan akhir tahun di gereja, aku pun memutuskan untuk pulang. Aku tidak ingin bertemu siapa-siapa lagi. Tapi, Tuhan berkata lain. Aku bertemu dengannya tanpa disengaja di parkiran motor.
Aku berhadapan dengannya. Dia menatapku. Aku menatapnya. Tatapan yang berbeda dari biasanya. Seperti bukan Adit. Dia pun memutar badan dan berjalan menjauhiku.
“Adit” panggilku menghentikan langkahnya. “Lu kenapa?” tanyaku.
Diam sejenak. Dia tidak memutar balik badannya. “Lu yang kenapa” ketusnya masih dalam posisi membelakangiku.
Aku mendekatinya dan berdiri di hadapannya. “Lu tanya gue kenapa?” tanyaku membuat dirinya menunduk.
“Gue gak kenapa-napa Dit. Gue masih Monic sahabat lu. Gue masih sama seperti dulu” kataku lirih. Aku hampir menangis.
Adit diam dalam posisi menunduk. Dia tidak mau menatapku lagi.
Setelah diam beberapa detik, air mataku jatuh. Jatuh dan jatuh lagi. Semakin deras dan isak tangis mulai terdengar. “Mana komitmen lo Dit? Mana janji lo yang akan selalu jadi sahabat gue? Mana?” kataku lirih.
“Gue salah, udah percaya sama lu Dit. Lu udah membuat gue terlalu berharap dan lu jatuhin gue begitu aja. Lu balikan lagi sama Sheren kan?” kataku lagi.
Dia masih menunduk dan diam.
Aku pun mengeluarkan hadiah yang telah kusimpan di dalam tas kecilku sejak beberapa hari yang lalu. Hadiah yang telah kusiapkan sejak lama.
“Mungkin lu gak butuh ini Dit” kataku menunjukkan hadiah itu kepadanya.
Dia melihat kotak hadiah itu.
Aku pun langsung membuangnya ke tempat sampah yang ada di dekatku.
“Lu bukan Adit sahabat gue. Lu jahat. Lu bukan siapa-siapa gue lagi” kataku lalu berlari meninggalkannya.
Dia sempat mengejarku dan memanggilku berkali-kali. Tapi aku tidak menghiraukannya.
****
“Ma, pa, besok Monic langsung balik ke Bandung ya” pintaku kepada kedua orangtuaku sesampainya aku di rumah.
Mama dan papa saling bertukar pandang.
“Kamu kenapa Mon? Datang-datang kok langsung minta balik? Bukannya kamu masih mau bertemu sahabat-sahabat kamu?” tanya mama
“Udah ketemu semua kok ma. Monic lagi banyak tugas yang harus diselesaikan awal tahun ini ma. Deadlinenya tanggal 5 ini ma, dan Monic belum ngumpulin data” kataku memberi alasan. Aku memang memiliki tugas yang harus dikumpulkan tanggal 5 Januari, tapi aku sudah menyelesaikan dan mengumpulkannya sebelum libur semeter.
Mama dan papa diam. Mereka masih bertukar pandang.
“Hayolah ma. Kita tahun baruan di tempat paman aja. Mama dan papa belum pernah merayakan tahun baru dengan mereka kan?” aku membujuk kedua orangtuaku.
Dan dengan bujuk rayuku dan segala pertimbangan yang kulontarkan dan bantahan mama, akhirnya kedua orangtuaku menyetujui permintaanku.
****
Aku akan meninggalkan kota ini. Dan aku harus melupakan apa yang telah terjadi beberapa hari terakhir. Aku harus melupakannya. Aku tidak punya teman yang bernama Adit lagi.
“Oh ya Mon, tadi Adit datang ke rumah loh” kata mama membuyarkan lamunanku.
Aku hanya menatap mama tanpa berbicara.
Mama tahu maksud tatapanku itu. Tatapan yang mengandung maksud “lalu?”
“Dia nitipin ini ke mama” kata mama sambil memberikan sebuah amplop berisi surat.
Diam. Aku ragu menerima surat itu.
Mama melempar pandang ke arah papa yang sedang menyetir mobil. “Mon?” mama memutar badannya ke belakang. Ia menatapku penuh arti. “Kamu yakin gak mau baca surat dari Adit?”
Aku diam.
“Yaudah kalau gitu biar mama yang bacain ya” kata mama seraya membuka amplop tersebut.
“Mama apaansih? Biar Monic aja yang baca” kataku meminta surat itu dari tangan mama.
Mama memberikannya.
Aku pun membuka amplop tersebut dan mengeluarkan surat dengan kertas berwarna merah mudah.

Dear Monic,
            Mon, maafin gue kalau gue udah jahat sama lu. Gue gak bermaksud ngelakuin hal kemarin ke lu. Mon, lu kenal gue kan? lu tau gue sayang sama lu tapi gue harus lupain lu. Dan lu tau, gak mudah bagi gue untuk lupain orang yang gue sayang. Sheren cuma pelarian untuk lupain lu Mon. Nanti kalau gue udah bisa lupain lu, gue bakal putusin Sheren untuk nepati janji gue beberapa tahun silam. Ya, gue emang jahat. Gue matahin dua hati wanita untuk apa yang gue inginkan dimasa depan.
Apapun yang akan terjadi dimasa depan, gue mau lu jangan pernah berubah. Tetap jadi Monic, sahabat gue. Dan gue akan berusaha ngelupain lu walau gue masih berharap bersama lu dimasa depan nanti.
Apapun yang gue katakan. Bagaimanapun gue menolaknya, rasa ini masih disini Mon. Entah sampai kapan. Jangan pernah lupain gue. Kalau lu merubah keputusan yang udah lu buat dua tahun silam, gue siap Mon. Gue akan memutar balik kapal gue menjemput lu.
By the way, makasih banyak atas hadiah yang lu buang ke tempat sampah kemarin. Hadiahnya pasti gue pakai kok Mon.
Sincerely,
Adit

Dia bukan Adit sahabatku. Lu jahat Dit, batinku.
Aku menyesal telah berharap dengan seorang lelaki yang tega mematahkan dua hati wanita hanya untuk apa yang ia inginkan. Egois.
****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...