Aku menyebutnya matahari. Seorang teman baik yang hobinya membakar semangatku. Ia sangat berapi-api dengan ambisi. Dan biasanya orang yang dekatnya pun akan jadi manusia yang sangat bersemangat dan berambisi. “Semangat, Mey,” kata-kata yang selalu terucap dari mulutnya setelah kami bercerita panjang lebar. Selalu itu, kayak gak ada kata-kata lain.
Dia teman bercerita yang baik, dulu. Ya, dulu. Sekarang? Dia hanya penonton setia storyku. Teman satu grup WA yang bertegur sapa saat ulang tahun dan hari besar saja. Itupun bertegur sapanya di dalam grup. Tidak pernah bertegur sapa melalui personal chat lagi. Hampir menjadi orang asing. Mungkin beberapa bulan lagi, kita lihat saja.
Kemarin, ia mampir ke berandaku. Menunjukkan solidaritasnya sebagai teman. Lalu, tidak lama setelah itu, dia muncul dengan senyum khasnya bersama dengan lagu sedih kesukaannya. Lagu perpisahan sementara. Lagi dan lagi tentang perpisahan sementara.
Tentangnya masih menjadi rahasia. Hobinya menjadi manusia yang menyedihkan, padahal dia matahari. Dia terluka, tapi dia tidak menyadarinya. Dia temanku, akan selalu menjadi temanku.
Hai, matahari. Tetap hidup dengan segala ambisimu, ya. Di belahan bumi manapun kamu berada, tetaplah hidup seperti matahari yang siap memberi cahaya untuk orang sekitarmu dan selalu membakar semangat orang yang patah hati.
Yogyakarta, 16 Februari 2022
ditulis saat mendengar lagu kesukaannya.