Mentari
pagi tidak pernah berubah. Ia selalu menepati janjinya untuk menyinari bumi.
Tidak peduli hari Senin, Selasa, Sabtu, atau Minggu, ia selalu setia kepada
bumi. Berbeda dengan Gaby yang selalu berubah-ubah setiap waktu. Kadangkala ia
tampak ceria, ramah, tapi sewaktu-waktu ia bisa berubah menjadi Gaby yang
pendiam, murung, dan senang melamun di kelas.
Seminggu
setelah Gaby putus hubungan dengan Ivan, Gaby menjadi pribadi yang lebih buruk
dari sebelumnya. Ia lebih pendiam, murung dan menghabiskan waktu istirahat
sendiri di taman sekolah. Dua tahun hubungan yang telah ia jalani bersama Ivan
usai begitu saja hanya karena Ivan pindah ke luar provinsi, bahkan ke luar
pulau.
****
“Gue
gabisa ldr Gab. Bullshit lu atau gue bisa setia dengan hubungan jarak jauh.
Apalagi, gue gatau kapan gue akan kembali ke sini” jelas Ivan, ketika Gaby
meminta kepadanya untuk menjalin hubungan jarak jauh.
Gaby
berdiri di hadapan Ivan. Ia mendengarkan penjelasan Ivan tapi tidak berani
menatap mata Ivan.
“Ada
Tian kan di sini. Mungkin Tian bisa menggantikan posisi gue” ucap Ivan.
Gaby
masih tetap pada posisinya. Diam mendengarkan tanpa berani menatap. Sebenarnya
ia ingin berteriak, menangis, tapi ia harus menahan emosinya karena mereka
sedang berada di sekolah.
“Makasih
untuk dua tahunnya Gab. Kalau kita jodoh, kita pasti dipertemukan kembali kok”
ucap Ivan lalu berbalik arah, hendak meninggalkan Gaby.
“Van”
lirih Gaby.
Ivan
menghentikan langkahnya dan menunggu kata selanjutnya yang keluar dari mulut
Gaby.
“Gue
pengen meluk lu untuk yang terakhir kalinya” pinta Gaby dengan air mata mulai
mengalir di pipinya.
Ivan
pun membalikkan badannya lagi dan menghampiri Gaby. Ia memperbolehkan Gaby
memeluknya.
Gaby
menangis dipelukan Ivan.
****
“Kenapa
sih lu senang banget menyendiri di taman?” tanya seorang lelaki yang tidak
asing lagi bagi Gaby.
Ia
melirik wajah Gaby yang kusut. Gaby baru saja menangis. Cepat-cepat Gaby
menghapus air matanya.
“Gadis
malang yang menghabiskan waktu istirahatnya duduk melamun dan menangis di
taman. Ia merindukan mantan kekasihnya” kata Tian sambil memandang lurus ke
depan.
“Kalau
tujuan lu untuk ngeledikin gue, mending lu tinggalin gue sendiri di sini”
kataku. Telinga Gaby panas mendengarkan perkataan Tian barusan.
“Menangis
ga akan mengubah segalanya Gab. Lu boleh nangis, tapi jangan lama-lama. Ingat,
masih banyak hal yang harus lu kerjakan dan pikirin masa depan lu” katanya lalu
ia duduk di sebelah Gaby.
“Gab”
lirihnya memegang kedua bahu Gaby. “Lu sakit hati, itu wajar. Sakit hati itu
mendewasakan kita Gab. Tapi lu harus bangkit dari rasa sakit lu. Jangan mau
terus-terusan sakit”.
Gaby
masih diam menunduk mendengarkan perkataan Tian. Tian, lelaki yang pernah
mencintainya setahun yang lalu. Tian pernah menaruh hati pada Gaby, tetapi
karena Gaby sudah memiliki pacar, harapan Tian pupus. Gaby hanya menganggapnya sebagai
sahabat.
“Kalau
lu ada masalah cerita sama gue. Telinga gue siap 24 jam mendengarkan cerita lu,
dan pundak gue juga siap 24 jam untuk lu” katanya tersenyum. Senyum yang tidak
biasa. Seperti terselip harapan di sana.
Gaby
memandang Tian. Ia tidak menyangka Tian masih peduli dengan dirinya.
****
Hari
berlalu hari, Gaby berangsur-angsur bangkit dari rasa sakitnya. Ia mulai
tersenyum lagi. Vio, yang selalu setia mendengarkan curhatan Gaby dan selalu
menyemangati Gaby untuk move on. Vio juga tidak pernah membiarkan Gaby bengong
sendirian. Tapi, Tian adalah orang yang paling berperan dalam mengembalikan
senyum Gaby.
Gaby
merasa Tian memberikan perhatian lebih kepadanya. Sering sekali, jika Gaby
kesulitan dalam suatu hal, Tian selalu membantunya tanpa ia minta bantu. Pundak
Tian adalah pundak ternyaman setelah pundak Ivan. Vio bisa mengusir
kesepiannya, tapi Tian bisa membuatnya lupa akan rasa sakit yang diberikan
Ivan.
Gaby
senang dan bangga dengan dirinya. Memang sekarang rasa sakitnya belum terobati,
tapi ia percaya, akan ada seseorang yang akan memulihkan hatinya. Suatu waktu
nanti. Entah itu Tian atau yang lain.
****
Kring...
Handphone Gaby bergetar. Ada line dari Tian.
Tian: Gab? Lagi sibuk
ga?
Gaby
tersenyum membaca line dari Tian. Tidak biasanya Tian bertanya seperti itu.
Gaby: Enggak. Ada apa
ian?
Tidak
perlu menunggu, chat Gaby langsung dibaca dan dibalas oleh Tian pada waktu itu
juga.
Tian: Keluar yuk. Nanti
gue jemput jam 4 sore. Gue mau ngajak lu ke suatu tempat.
Seperti
anak kecil yang dibelikan mainan oleh orangtuanya. Bahagia sekali. Gaby
senyum-senyum sendiri. Tanpa pikir panjang ia langsung membongkar isi
lemarinya. Mencari baju santai yang pantas untuk pergi.
****
“Ian?
Ini kan rumah lu?” Gaby menautkan kedua alisnya. Ia memandangi rumah yang tidak
asing baginya. Dua hari lalu, ia baru saja dari rumah ini.
“Iya”
jawab Tian santai. “Yuk masuk” ajak Tian menggenggam tangan Gaby.
Gaby
melihat genggagam tangan itu dan mematung sejenak.
“Sorry”
ucap Tian melepaskan genggamannya.
Gaby
tersenyum malu.
Lima
menit kemudian Gaby dan Tian sudah berada di suatu tempat yang letaknya tepat
di belakang rumah Tian. Tempat itu seperti taman, tapi bukan taman. Ada
beberapa tanaman di sana tapi tidak banyak. Tempat itu dipenuhi rumput hijau
dan batu-batuan besar.
“Ini
tempat gue menghilangkan stress, Gab” kata Tian. “Sederhana sih, tapi gue sangat-sangat
tenang ada di sini sejak kecil. Gue juga gatau kenapa. Tapi sejak gue tahu,
papa dan mama gue ada di sini, gue tahu kenapa gue senang ada di sini.
“Maksud
lu?” tanya Gaby mengerutkan dahi.
“Papa
dan mama gue dimakamkan di sana” jawab Tian sambil menunjukkan dua makam yang
berjarak 200 meter dari tempat mereka berdiri.
Saat
itu Tian kecil yang berumur lima bulan ditinggal di rumah tantenya karena
permintaan tantenya. Dan saat orangtuanya ingin menjemputnya lagi, mereka
mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Sejak saat itu, Tian pun diasuh oleh
tantenya di rumah orangtua Tian.
****
Tidak
ada yang spesial dari pertemuan Gaby dan Tian hari ini. Tidak seperti apa yang
diekspektasikan oleh Gaby. Walau begitu, Gaby tetap senang. Ia diberi
kesempatan untuk mengenal sosok Tian dan keluarga Tian lebih dalam lagi.
‘Baik. Keluarganya juga baik’ pikir Gaby.
****
Tidak
seperti pagi biasanya. Pagi ini langit mendung. Hujan. Karena hujan jalanan
semakin macet dan becek. Dingin. Hasrat untuk kembali menyentuh kasur semakin
besar. Hal ini menyebabkan orang-orang malas beraktivitas di luar, khususnya siswa-siswi
yang akan bersekolah. Biasanya hujan dijadikan alasan untuk bolos bagi siswa
malas.
Langit
tidak sejalan dengan suasana hati Gaby. Ia tampak ceria hari ini. Biarpun
hujan, semangatnya untuk ke sekolah tidak berkurang. Demi masa depan. Demi
Tian.
“Gaby”
teriak Vio sesampainya Gaby di depan pintu kelas.
Ternyata
bukan hanya Gaby saja yang sedang senang. Vio juga.
“Gue
udah jadian sama Tian” ucap Vio kegirangan.
Gaby
yang tadinya senang melihat sahabatnya tampak ceria sekali kini ciut. Senyumnya
pudar. Kaget. Baru tiga hari yang lalu Tian membuatnya senang dan berharap.
Sekarang, Gaby harus mendengarkan berita itu.
“Oh
ya?” ucap Gaby mengerutkan dahinya.
“Iya. Tadi malam di cafe lalayeye”
kata Vio tersenyum senang.
“Selamat ya Vi” kata Gaby terseyum. Senyum
yang tidak ikhlas.
****
Hujan. Ternyata langit berpihak
kepada Gaby. Langit seakan mengerti perasaan Gaby. Sementara Gaby duduk
termenung di koridor perpustakaan. Seorang diri bersama hujan.
“Sendiri mulu. Ga bosan apa?” ketus
seorang lelaki dari belakangnya. Lelaki itu duduk disebelahnya.
Lelaki yang menjadi obat sakit
hatinya tapi kini ia menjadi lelaki yang memperburuk lukanya itu.
Diam memandang hujan. Gaby tidak
menghiraukan perkataan Tian.
“Hmm. Padahal gue mau menyampaikan
kabar gembira” kata Tian.
Gaby berusaha untuk tersenyum. “Gue
udah tau kok”
“Apa coba?” tanya Tian. Ia yakin
kalau Gaby pura-pura tahu soal kabar gembira yang akan ia sampaikan.
“Lu jadiankan sama Vio” balas Gaby
berusaha untuk girang.
Tian tersenyum mengiyakan ucapan
Gaby. Ia pun menundukkan kepalanya.
“Loh ian? Kenapa diam? Harusnya lu
seneng dong, ga jomblo lagi” celutuk Gaby. Gaby berusaha menyembunyikan
kecemburuannya.
“Gab, gue boleh meluk lu ga?”
pintanya.
Gaby semakin bingung dengan Tian.
Tian adalah pacar temannya, Vio. Tapi kenapa Tian malah ingin memeluk Gaby?
Gaby mengangguk ragu. Sebenarnya ia
senang tapi ia merasa bersalah juga dengan sahabatnya Vio.
“Makasih ya udah selalu ada buat
gue. Biarpun gue udah punya cewe, gue gabakalan lupain lu kok Gab. Lu tetep
sahabat gue. Jangan pernah sungkan untuk selalu cerita ke gue, Gab” ucap Tian
saat memeluk Gaby.
Seharusnya
dulu gue ga mengabaikan lu Ian. Gue salah. Gue berharap lebih saat lu hanya menganggap
gue sebagai sahabat. Gak lebih. Dan bodohnya gue, selalu menyalah artikan
bentuk perhatian lu selama ini. batin Gaby.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar