Minggu, 05 Februari 2017

Secret





Mentari pagi tidak pernah berubah. Ia selalu menepati janjinya untuk menyinari bumi. Tidak peduli hari Senin, Selasa, Sabtu, atau Minggu, ia selalu setia kepada bumi. Berbeda dengan Gaby yang selalu berubah-ubah setiap waktu. Kadangkala ia tampak ceria, ramah, tapi sewaktu-waktu ia bisa berubah menjadi Gaby yang pendiam, murung, dan senang melamun di kelas.
Seminggu setelah Gaby putus hubungan dengan Ivan, Gaby menjadi pribadi yang lebih buruk dari sebelumnya. Ia lebih pendiam, murung dan menghabiskan waktu istirahat sendiri di taman sekolah. Dua tahun hubungan yang telah ia jalani bersama Ivan usai begitu saja hanya karena Ivan pindah ke luar provinsi, bahkan ke luar pulau.
****
“Gue gabisa ldr Gab. Bullshit lu atau gue bisa setia dengan hubungan jarak jauh. Apalagi, gue gatau kapan gue akan kembali ke sini” jelas Ivan, ketika Gaby meminta kepadanya untuk menjalin hubungan jarak jauh.
Gaby berdiri di hadapan Ivan. Ia mendengarkan penjelasan Ivan tapi tidak berani menatap mata Ivan.
“Ada Tian kan di sini. Mungkin Tian bisa menggantikan posisi gue” ucap Ivan.
Gaby masih tetap pada posisinya. Diam mendengarkan tanpa berani menatap. Sebenarnya ia ingin berteriak, menangis, tapi ia harus menahan emosinya karena mereka sedang berada di sekolah.
“Makasih untuk dua tahunnya Gab. Kalau kita jodoh, kita pasti dipertemukan kembali kok” ucap Ivan lalu berbalik arah, hendak meninggalkan Gaby.
“Van” lirih Gaby.
Ivan menghentikan langkahnya dan menunggu kata selanjutnya yang keluar dari mulut Gaby.
“Gue pengen meluk lu untuk yang terakhir kalinya” pinta Gaby dengan air mata mulai mengalir di pipinya.
Ivan pun membalikkan badannya lagi dan menghampiri Gaby. Ia memperbolehkan Gaby memeluknya.
Gaby menangis dipelukan Ivan.
****
“Kenapa sih lu senang banget menyendiri di taman?” tanya seorang lelaki yang tidak asing lagi bagi Gaby.
Ia melirik wajah Gaby yang kusut. Gaby baru saja menangis. Cepat-cepat Gaby menghapus air matanya.
“Gadis malang yang menghabiskan waktu istirahatnya duduk melamun dan menangis di taman. Ia merindukan mantan kekasihnya” kata Tian sambil memandang lurus ke depan.
“Kalau tujuan lu untuk ngeledikin gue, mending lu tinggalin gue sendiri di sini” kataku. Telinga Gaby panas mendengarkan perkataan Tian barusan.
“Menangis ga akan mengubah segalanya Gab. Lu boleh nangis, tapi jangan lama-lama. Ingat, masih banyak hal yang harus lu kerjakan dan pikirin masa depan lu” katanya lalu ia duduk di sebelah Gaby.
“Gab” lirihnya memegang kedua bahu Gaby. “Lu sakit hati, itu wajar. Sakit hati itu mendewasakan kita Gab. Tapi lu harus bangkit dari rasa sakit lu. Jangan mau terus-terusan sakit”.
Gaby masih diam menunduk mendengarkan perkataan Tian. Tian, lelaki yang pernah mencintainya setahun yang lalu. Tian pernah menaruh hati pada Gaby, tetapi karena Gaby sudah memiliki pacar, harapan Tian pupus. Gaby hanya menganggapnya sebagai sahabat.
“Kalau lu ada masalah cerita sama gue. Telinga gue siap 24 jam mendengarkan cerita lu, dan pundak gue juga siap 24 jam untuk lu” katanya tersenyum. Senyum yang tidak biasa. Seperti terselip harapan di sana.
Gaby memandang Tian. Ia tidak menyangka Tian masih peduli dengan dirinya.
****
Hari berlalu hari, Gaby berangsur-angsur bangkit dari rasa sakitnya. Ia mulai tersenyum lagi. Vio, yang selalu setia mendengarkan curhatan Gaby dan selalu menyemangati Gaby untuk move on. Vio juga tidak pernah membiarkan Gaby bengong sendirian. Tapi, Tian adalah orang yang paling berperan dalam mengembalikan senyum Gaby.
Gaby merasa Tian memberikan perhatian lebih kepadanya. Sering sekali, jika Gaby kesulitan dalam suatu hal, Tian selalu membantunya tanpa ia minta bantu. Pundak Tian adalah pundak ternyaman setelah pundak Ivan. Vio bisa mengusir kesepiannya, tapi Tian bisa membuatnya lupa akan rasa sakit yang diberikan Ivan.
Gaby senang dan bangga dengan dirinya. Memang sekarang rasa sakitnya belum terobati, tapi ia percaya, akan ada seseorang yang akan memulihkan hatinya. Suatu waktu nanti. Entah itu Tian atau yang lain.
****
Kring... Handphone Gaby bergetar. Ada line dari Tian.
Tian: Gab? Lagi sibuk ga?
Gaby tersenyum membaca line dari Tian. Tidak biasanya Tian bertanya seperti itu.
Gaby: Enggak. Ada apa ian?
Tidak perlu menunggu, chat Gaby langsung dibaca dan dibalas oleh Tian pada waktu itu juga.
Tian: Keluar yuk. Nanti gue jemput jam 4 sore. Gue mau ngajak lu ke suatu tempat.
Seperti anak kecil yang dibelikan mainan oleh orangtuanya. Bahagia sekali. Gaby senyum-senyum sendiri. Tanpa pikir panjang ia langsung membongkar isi lemarinya. Mencari baju santai yang pantas untuk pergi.
****
“Ian? Ini kan rumah lu?” Gaby menautkan kedua alisnya. Ia memandangi rumah yang tidak asing baginya. Dua hari lalu, ia baru saja dari rumah ini.
“Iya” jawab Tian santai. “Yuk masuk” ajak Tian menggenggam tangan Gaby.
Gaby melihat genggagam tangan itu dan mematung sejenak.
“Sorry” ucap Tian melepaskan genggamannya.
Gaby tersenyum malu.
Lima menit kemudian Gaby dan Tian sudah berada di suatu tempat yang letaknya tepat di belakang rumah Tian. Tempat itu seperti taman, tapi bukan taman. Ada beberapa tanaman di sana tapi tidak banyak. Tempat itu dipenuhi rumput hijau dan batu-batuan besar.
“Ini tempat gue menghilangkan stress, Gab” kata Tian. “Sederhana sih, tapi gue sangat-sangat tenang ada di sini sejak kecil. Gue juga gatau kenapa. Tapi sejak gue tahu, papa dan mama gue ada di sini, gue tahu kenapa gue senang ada di sini.
“Maksud lu?” tanya Gaby mengerutkan dahi.
“Papa dan mama gue dimakamkan di sana” jawab Tian sambil menunjukkan dua makam yang berjarak 200 meter dari tempat mereka berdiri.
Saat itu Tian kecil yang berumur lima bulan ditinggal di rumah tantenya karena permintaan tantenya. Dan saat orangtuanya ingin menjemputnya lagi, mereka mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Sejak saat itu, Tian pun diasuh oleh tantenya di rumah orangtua Tian.
****
Tidak ada yang spesial dari pertemuan Gaby dan Tian hari ini. Tidak seperti apa yang diekspektasikan oleh Gaby. Walau begitu, Gaby tetap senang. Ia diberi kesempatan untuk mengenal sosok Tian dan keluarga Tian lebih dalam lagi.
Baik. Keluarganya juga baik’ pikir Gaby.
****
Tidak seperti pagi biasanya. Pagi ini langit mendung. Hujan. Karena hujan jalanan semakin macet dan becek. Dingin. Hasrat untuk kembali menyentuh kasur semakin besar. Hal ini menyebabkan orang-orang malas beraktivitas di luar, khususnya siswa-siswi yang akan bersekolah. Biasanya hujan dijadikan alasan untuk bolos bagi siswa malas.
Langit tidak sejalan dengan suasana hati Gaby. Ia tampak ceria hari ini. Biarpun hujan, semangatnya untuk ke sekolah tidak berkurang. Demi masa depan. Demi Tian.
“Gaby” teriak Vio sesampainya Gaby di depan pintu kelas.
Ternyata bukan hanya Gaby saja yang sedang senang. Vio juga.
“Gue udah jadian sama Tian” ucap Vio kegirangan.
Gaby yang tadinya senang melihat sahabatnya tampak ceria sekali kini ciut. Senyumnya pudar. Kaget. Baru tiga hari yang lalu Tian membuatnya senang dan berharap. Sekarang, Gaby harus mendengarkan berita itu.
“Oh ya?” ucap Gaby mengerutkan dahinya.
            “Iya. Tadi malam di cafe lalayeye” kata Vio tersenyum senang.
            “Selamat ya Vi” kata Gaby terseyum. Senyum yang tidak ikhlas.
****
            Hujan. Ternyata langit berpihak kepada Gaby. Langit seakan mengerti perasaan Gaby. Sementara Gaby duduk termenung di koridor perpustakaan. Seorang diri bersama hujan.
            “Sendiri mulu. Ga bosan apa?” ketus seorang lelaki dari belakangnya. Lelaki itu duduk disebelahnya.
            Lelaki yang menjadi obat sakit hatinya tapi kini ia menjadi lelaki yang memperburuk lukanya itu.
            Diam memandang hujan. Gaby tidak menghiraukan perkataan Tian.
            “Hmm. Padahal gue mau menyampaikan kabar gembira” kata Tian.
            Gaby berusaha untuk tersenyum. “Gue udah tau kok”
            “Apa coba?” tanya Tian. Ia yakin kalau Gaby pura-pura tahu soal kabar gembira yang akan ia sampaikan.
            “Lu jadiankan sama Vio” balas Gaby berusaha untuk girang.
            Tian tersenyum mengiyakan ucapan Gaby. Ia pun menundukkan kepalanya.
            “Loh ian? Kenapa diam? Harusnya lu seneng dong, ga jomblo lagi” celutuk Gaby. Gaby berusaha menyembunyikan kecemburuannya.
            “Gab, gue boleh meluk lu ga?” pintanya.
            Gaby semakin bingung dengan Tian. Tian adalah pacar temannya, Vio. Tapi kenapa Tian malah ingin memeluk Gaby?
            Gaby mengangguk ragu. Sebenarnya ia senang tapi ia merasa bersalah juga dengan sahabatnya Vio.
            “Makasih ya udah selalu ada buat gue. Biarpun gue udah punya cewe, gue gabakalan lupain lu kok Gab. Lu tetep sahabat gue. Jangan pernah sungkan untuk selalu cerita ke gue, Gab” ucap Tian saat memeluk Gaby.
            Seharusnya dulu gue ga mengabaikan lu Ian. Gue salah. Gue berharap lebih saat lu hanya menganggap gue sebagai sahabat. Gak lebih. Dan bodohnya gue, selalu menyalah artikan bentuk perhatian lu selama ini. batin Gaby.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...