Selasa, 04 Oktober 2022

Berisik

   
    Malam itu, seperti biasanya. Di bawah langit berpurnama. Dia datang menghampiriku. Mengajakku bercakap-cakap. 
    "Apa kabar?" tanyanya. 
  "Seperti yang kamu lihat sekarang," jawabku dengan wajah tertekuk.
    "Di sini berisik, ya?" terkanya menatapku dalam.
  Dia mengalihkan pandangannya dariku. "Mereka hanya bisa berbicara sesuka mereka. Berbicara seakan-akan mereka paling keren, paling baik, dan kamu...," dia menoleh ke arahku.
   "Bagi mereka, kamu bukan siapa-siapa, cuma perempuan yang belum dewasa dan tidak bisa apa-apa. Bahkan ada yang bilang, kamu tidak pantas menjadi seperti apa yang kamu cita-citakan," lanjutnya lagi.
  Sedari tadi aku menahan air mataku. Tumpah. Makhluk yang datangnya sekali-kali ini memang jahat. Namun dia juga yang paling mengerti aku.
    Dia kembali menatap purnama. "Tidak apa-apa. Nangis saja."
   "Maaf sudah membiarkanmu sesedih ini. Maaf kalau keputusan-keputusan kita di masa lalu itu salah. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar salah jika kita bisa mempertanggungjawabkannya. Tapi ya, hari itu kepalamu lagi penuh. Kamu kehilangan wadah untuk menampung semua isi kepalamu itu sampai kamu lupa sama prioritas dan tanggung jawabmu. Duniamu terlalu berisik," ucapnya menatapku kasihan.
    "Kamu tidak mau ikut aku?" tanyanya menunjuk ke arah kanannya. Di sebelah kanannya ada lorong gelap sekali. Sedari tadi kami duduk, hanya beberapa orang yang masuk ke dalam lorong itu. Ada yang keluar juga, tapi jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah yang masuk.
    "Di tempatku tidak berisik seperti di tempatmu. Menurutku di manapun dan kapanpun, kamu akan selalu menemukan luka baru untuk diolah. Kamu juga akan selalu bertemu dengan orang-orang nyinyir. Tapi setidaknya jumlahnya tidak sebanyak seperti yang kamu temui biasanya. Ya, di tempatku memang tidak sebebas di tempatmu namun ketidakbebasan itu lah yang membuat tempatku lebih tenang daripada tempatmu."
    Aku hanya diam mematung.
    "Kamu betul tidak mau ikut denganku?"
 




Minggu, 21 Agustus 2022

Buku Baru Lagi?

     

    Sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Ini sudah ada sejak April tahun lalu tapi baru kusadari keberadaannya Januari 2022 lalu. Sekarang sudah Agustus. Aku menemukannya lagi. Buku baru. Padahal sudah lama tapi masih kuanggap baru, haha. Kubaca kembali, kucoba pahami lagi. 

    Dia masih hal absurd yang sulit dipahami. Namun, gak berarti aku gak bisa memahaminya. Bisa, cuma butuh waktu aja. Akhir-akhir ini aku bersemangat dibuatnya. Kubaca pelan-pelan, kucerna maksud dari tiap paragrafnya dan kupetik pesan dari tiap babnya. Banyak hal yang baru kusadari darinya. Aku semakin terbuka dalam berpikir, diajak untuk meninjau ulang nilai-nilai hidup yang kupegang. 

    Ini buku yang aku cari dari dulu. Buku yang mengajarkan banyak hal tapi gak terlihat seperti mengguruiku. Aku gak merasa bodoh dibuatnya. Buku yang bisa kubaca kapanpun dan dimanapun. Kecil bukunya, tapi isinya wah...

    Buku ini berbeda sekali dengan buku sebelumnya. Buku dengan sampul 'nyeni' dan judul bombastis. Harganya mahal eh ternyata isinya gak jelas. Oh maaf. Mungkin bukan isinya yang gak jelas, tapi aku yang tidak cocok dengan isi buku ini. Awalnya aku menyesal beli bukunya tapi sekarang enggak. 

    Sekarang buku itu udah jadi masa laluku. Meskipun banyak gak jelasnya dan bikin sakit kepala tapi aku belajar bahwa quotes 'dont judge book by its cover' benar adanya. Dari buku itu aku juga belajar bahwa gak semua hal harus tuntas dan selesai. Ada beberapa hal yang emang porsinya selesai di setengah perjalanan aja. 

    Kembali ke buku baru. Aku sudah hampir selesai membacanya. Tapi aku enggan untuk selesai. Takut kalau akhir dari buku ini gak sesuai dengan ekspektasiku. Mungkin kalau akhir dari buku ini sesuai ekspektasiku, akan kubaca ulang dan kujadikan buku pegangan selamanya. Tapi kalau enggak, mungkin dia akan jadi salah satu buku terbaik yang pernah kubaca. Akan kukenang. Setidaknya kenangan dengan buku yang sekarang akan lebih manis daripada kenangan dengan buku sebelumnya. 

Kamis, 17 Februari 2022

Hai, Matahari.

 

Aku menyebutnya matahari. Seorang teman baik yang hobinya membakar semangatku. Ia sangat berapi-api dengan ambisi. Dan biasanya orang yang dekatnya pun akan jadi manusia yang sangat bersemangat dan berambisi. “Semangat, Mey,” kata-kata yang selalu terucap dari mulutnya setelah kami bercerita panjang lebar. Selalu itu, kayak gak ada kata-kata lain. 

Dia teman bercerita yang baik, dulu. Ya, dulu. Sekarang? Dia hanya penonton setia storyku. Teman satu grup WA yang bertegur sapa saat ulang tahun dan hari besar saja. Itupun bertegur sapanya di dalam grup. Tidak pernah bertegur sapa melalui personal chat lagi. Hampir menjadi orang asing. Mungkin beberapa bulan lagi, kita lihat saja. 

Kemarin, ia mampir ke berandaku. Menunjukkan solidaritasnya sebagai teman. Lalu, tidak lama setelah itu, dia muncul dengan senyum khasnya bersama dengan lagu sedih kesukaannya. Lagu perpisahan sementara. Lagi dan lagi tentang perpisahan sementara.  

Tentangnya masih menjadi rahasia. Hobinya menjadi manusia yang menyedihkan, padahal dia matahari. Dia terluka, tapi dia tidak menyadarinya. Dia temanku, akan selalu menjadi temanku. 

Hai, matahari. Tetap hidup dengan segala ambisimu, ya. Di belahan bumi manapun kamu berada, tetaplah hidup seperti matahari yang siap memberi cahaya untuk orang sekitarmu dan selalu membakar semangat orang yang patah hati. 

Yogyakarta, 16 Februari 2022

ditulis saat mendengar lagu kesukaannya.


Kamis, 10 Februari 2022

Iseng - Iseng

 



Jadi gambar di atas adalah cuplikan dari karyaku pada kompetisi menulis skenario 2021 silam. Namanya kompetisinya Maxscript Class 2021 yang diadakan oleh Maxstream & Wahana Edukasi.

Aku yang dari dulu cuma bisa menuliskan isi kepala saja eh ternyata bisa menulis skenario juga. Jatuh cinta dengan dunia kepenulisan sejak SMP. Sudah sebelas tahun, tapi belum jadi penulis. Ya, gapapa. 

Awalnya menulis cuma jadi pelarian saat lagi penat dan berantakan, tapi sekarang rasanya pengen jadi penulis beneran, deh. Belum tahu sih, mau jadi penulis novel atau penulis skenario, ya intinya mau jadi penulis. 

Jadi mau cerita keisengan tahun lalu. Iseng ikut kompetisi menulis skenario. Iseng aja, eh ternyata sampai jadi Top 10 Finalist. Akhirnya, untuk pertama kalinya, hobi menulisku menghasilkan uang dan dihargai lebih banyak orang.

Kita gak pernah tahu kalau gak kita coba. Sebenarnya, sebelum iseng ikut kompetisi menulis skenario, udah beberapa kali coba ikut kompetisi menulis novel, tapi belum rezeki. Belum coba kirim karya ke penerbit, sih. Tapi mungkin nanti akan dicoba. 

Senang, bersyukur, dan bangga sama diri sendiri karena udah berani iseng ikut kompetisi dan berani berjuang sampai akhir. Hal yang paling membanggakan bukan karena masuk Top 10 Finalist, dan hadiahnya, tapi karena bisa belajar dan diskusi langsung sama orang-orang keren di industri film seperti mbak Gina S. Noer, mas Salman Aristo, mas Arief Ash Shiddiq, mas Yandi Laurens, dan mas Eka Kurniawan. Waw, jadi pengalaman yang gak bakal terlupakan pokoknya. 

Selesainya Maxscript Class 2021 gak berarti selesai juga perjalanan menulisku. Selesai Maxscript Class 2021 adalah awal dari perjalanan menulisku, khususnya menulis skenario. Masih terus belajar, dan mengasah diri dalam dunia kepenulisan. 

Oh ya, jangan lupa mampir ke akun kwikku, ya. Disana aku menulis cerita fiksi. Tenang, baca ceritanya masih gratis, kok. Hehe.  Ini linknya :https://www.kwikku.com/meysam.

Senin, 24 Januari 2022

Sebuah Pengakuan

 


Kali ini memutuskan untuk menuliskan sesuatu yang sangat personal bagiku baru-baru ini. Sebuah pengakuan. Kalau tidak ditulis, artinya belum diakui. Belum mengakuinya sama saja seperti menyiksa diri sendiri.

Akhirnya merasakan lagi perasaan kacau ini, yang membuat kehidupanku tidak berjalan sesuai dengan rencanaku. Ya, baru dua minggu sih, tapi ngefek banget.

Perasaan kacau yang kusebut dengan buku baru nan absurd. Yang membuatku rela membuang-buang waktu hanya untuk memahaminya. Semakin dipahami ternyata semakin buat kacau. 

Pun caraku bertemu dengan kekacauan ini terbilang aneh. Sudah menemukannya di April 2021 lalu, tapi baru terasa kacaunya baru-baru ini. Setelah aku punya teman intel yang berisik, haha. 

Kacau nan absurd. Ya, ini masalah. Ingin rasanya menghadapinya, namun aku pun tidak tahu harus menghadapinya seperti apa. Menerimanya? Tidak semudah itu menerimanya karena menerimanya adalah ketakutan terbesarku. Akan ada harapan-harapan jahat yang menghampiriku setelah proses penerimaannya. Tapi kalau tidak diterima, artinya menyangkal dong? Kan sudah janji tidak akan menyangkal apapun. 

Ya, ya, aku harus mengakui kalau aku senang dan takut dalam waktu yang bersamaan. Sejauh ini cukup menyadari dan mengakuinya. Untuk menerimanya dengan lapang dada, butuh waktu. Semoga kekacauan ini cepat menemukan jalan keluarnya. Entah seperti apa nanti akhirnya, ya serahkan saja pada-Nya. 



Minggu, 23 Januari 2022

Ber-Eksamen

 

    Akhirnya bisa ber-eksamen setiap hari. Setelah menjadi wacana sejak 2019, akhirnya terealisasikan di awal tahun 2022. Selamat, ya, aku. 

    Tiga minggu berproses. Sama Tuhan diajak jalan-jalan ke masa lalu. Perjalanan yang melelahkan memang. Dan, ya, sampai juga di proses penerimaan. Aku tahu, ini masih awal dari perjalanan panjangku. Di depan sana, aku akan menemukan kerikil-kerikil tajam, yang mungkin akan mengikis perasaan-perasaan negatif itu. Terimakasih, Tuhan. 

    Setelah membaca lagi hasil eksamen ku setiap hari, jadi sadar ternyata kehidupanku berubah sekali sejak lima tahun lalu, saat pertama kali marah ke Tuhan dan mogok doa. Aku terlalu sering lari dari masalah, hobi menyangkal perasaan-perasaan negatif. “Anak pertama itu harus kuat,” kalimat yang selalu ditanamkan ke diriku, dulu. Kalimat itu juga yang membuatku lupa, kalau aku manusia biasa yang bisa sedih, bisa nangis, bisa gagal, bisa ditolak.

    “Kamu jagain mama dan adik-adik, ya,” pinta orang-orang dewasa, kala itu. Permintaan yang menuntutku untuk jadi wonder woman. Kalimat yang membuatku hidup untuk keluargaku, bukan untuk diriku sendiri. Terlalu sayang mereka, terlalu protektif, terlalu posesif. Overthinking jadi makanan sehari-hari. Sampai akhirnya terlintas pertanyaan, “kalau aku yang jagain mama dan adik-adik, yang jagain aku siapa?” 

    Pak, maaf borumu ini gagal jadi orang kuat yang dibayangkan orang-orang. Borumu ini lemah, terlalu lemah. Tapi puji Tuhan sekarang dia sudah sadar, dan mau mengakui kalau dia lemah. Dia butuh pertolongan. Sebenarnya, Tuhan sudah menunjukkan pertolongan itu tiga tahun lalu. Tapi tiga tahun lalu, dia masih bebal. Tiga tahun lalu, borumu ini merasa kalau dia adalah anak perempuan yang paling kuat. 

    Proses ini membuatku sampai pada kesimpulan, kalau waktu yang baik itu bukan hanya saat kita bisa tertawa lepas, tapi juga saat kita sadar dan mau mengakui kalau kita sedang tidak baik-baik saja. It’s okay. Diterima sedih dan kecewanya, dirasain, jangan disangkal. Perasaan sedih dan kecewa pun butuh pengakuan dan penerimaan dari diri kita sendiri.

Minggu, 16 Januari 2022

Buku Baru


Kukira selama ini hidupku masih tentang purnama dan matahari. Ternyata enggak. Kukira aku akan terus menuliskan tentang rindu dan luka. Ternyata enggak juga. Terlalu lama mengejar mimpi orang lain, sampai lupa kalau aku punya dunia baru, buku baru. Masih belum tahu ceritanya tentang apa, masih dicoret-coret. 

2021 adalah tahun peralihan, masa pendewasaan yang paling menyakitkan, sejauh ini. Satu per satu teman pergi. Ada yang pergi karena mengejar mimpi, ada pula yang pergi karena sudah tidak satu visi. Ada yang pergi dengan pamit, ada pula yang pergi tanpa pamit. Merasa sendiri, merasa semua manusia sama saja, jahat. Takut yang berlebihan. Lalu sadar, ternyata aku sedang tidak baik-baik saja. Menyadari, dan mengakuinya adalah sebuah pencapaian luar biasa bagiku. Terimakasih, ya, aku. 


2021 juga jadi tahun dengan petualangan yang lebih seru dari tahun-tahun sebelumnya. Nyemplung ke dunia baru yang hampir membawaku ke mimpi masa kecilku. Hampir. Berarti belum sampai. Selain nyemplung ke dunia baru, aku juga nyemplung ke mimpi orang lain, mimpinya mama. Mimpinya mama supaya aku bisa kerja sesuai dengan ilmu yang sudah kupelajari di perkuliahan. Karena kekuatanku terbatas, aku harus merelakan mimpi masa kecilku itu. “Mungkin belum saat,” kataku memberi penghiburan pada diriku sendiri, kala itu. 


Ada satu lagi, aku tidak tahu menyebutnya apa. Namun, sejak April 2021 aku sudah mencoba mempelajarinya, menyoret-menyoretnya, tapi sampai sekarang bentuknya masih belum jelas. Absurd. Kuingat-ingat lagi, belakangan ini aku sering membukanya, memperhatikannya, dan mencari makna dibalik keabsurd-annya. Aneh, tapi aku senang membuang-buang waktuku untuk diam memandangnya. Sejam, sehari, seminggu, berminggu-minggu. Belum kutemukan juga. 


Kalau tahun sebelumnya aku identik dengan purnama, matahari, luka, dan rindu, bisa kupastikan tahun ini aku identik dengan  hal absurd itu.


Selamat tahun baru 2022. Selamat datang perjuangan baru. 


Yogyakarta, Januari 2022

Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...