“Hai semesta
mengapa malam ini kamu terlihat gelap sekali?”
Heh, purnama, yang selalu kutunggu setiap senja
pergi. Kenapa dia harus datang disaat aku mulai melupakannya. Kenapa tidak
sabit atau separuh saja yang datang. Meskipun sabit dan separuh tidak membawa
bahagia karena cinta, setidaknya mereka juga tidak meninggalkan luka karena
cinta.
“Apa kamu masih
tidak berdamai dengan senja yang selalu datang dan pergi dengan keajaiban
warnanya?” Tanyanya lagi.
“Kenapa kamu
masih di sini? Bukankah sudah waktunya kamu berkelana ke tempat lain?” Aku tidak memedulikan pertanyaannya tadi.
Tau apa dia tentang aku dan senja. Tidakkah dia tahu aku mencintai senja lebih
dari apapun. Senja tidak pernah melukaiku seperti dia. Meskipun senja selalu pergi namun dia berjanji
akan kembali, dan dia selalu menepati janjinya. Tidak seperti purnama, aku
benci tapi aku rindu.
“Kamu ini. Aku
tanya apa, kamu jawab apa. Sudahlah lupakan, waktuku hampir habis.
Ngomong-ngomong bintang di ufuk timur titip pesan. Besok dia akan datang
menemanimu, namun telat karena harus menghibur anak kecil yang kesepian di
Marsnesia.”
Bintang timurku.
Kuakui, dia satu-satunya yang bisa membuatku lupa akan luka yang ditinggalkan
oleh purnama. Aku tidak paham mengapa ia baik sekali padaku, padahal kami baru
saja berteman. Namun, setidaknya dia belum pernah meninggalkan luka seperti
purnama, ya, meskipun dia selalu membuatku kecewa dengan keterlambatannya
setiap berkunjung ke tempatku, di selatan.
“Aku yakin,
bintang timur itu pasti akan menjadi teman setiamu. Kuharap dia pun tidak
memberikan luka seperti yang pernah kuberikan padamu. Salam untuk senja juga.
Kemungkinan aku tidak akan bertemu kalian sampai waktu yang cukup lama. Di akhir
tahun nanti, tidak usah menungguku, aku tidak akan mengunjungimu lagi.”
Yogyakarta, Juni
2019
ms
Tidak ada komentar:
Posting Komentar