Bermain
ayunan yang menghadap laut kusebut dengan pulang. Tiang besi yang menopang dua
ayunan sekaligus. Ayunanku dan ayunan kosong di sebelahku. di bawah dua ayunan
tersebut, ada semak berduri. Mungkin kalian bertanya, bagaimana caranya aku
bisa nyaman dan senang bermain ayunan yang di bawahnya ada bahaya yang akan
menyebabkan luka. Aku sudah terbiasa dengan luka. Aku tidak takut dengan luka.
Rasa tidak takut tersebut menyelamatkanku. Aku tidak pernah jatuh dan terluka
lagi.
Pernah,
ada seorang teman menghampiriku. Katanya dia suka biru, sama sepertiku. Biru laut
dan biru langit yang menyatuh, sangat menenangkan. Lalu, ia banyak bercerita
tentang biru lainnya. Lalu aku menyelanya, akan lebih baik jika ia bercerita
sambil duduk di atas ayunan bukan? Kalian tahu apa yang ia lakukan?
Ia
menjatuhkan dirinya pada semak berduri tersebut. Sontak, aku pun turun dari
ayunan, dan ikut terjebak pada semak berduri tersebut. “Maaf,” katanya.
Ia
lalu menoleh ke sebelah kananku. Jauh dari tempat kami terjatuh, terlihat
tiang besi yang lebih kokoh, menopang satu ayunan. Ayunannya tampak jauh lebih
bagus dan lebih besar daripada ayunanku. Namun, untuk bisa duduk di atas ayunan
itu tidak lah mudah. Jalannya sempit, berlumpur, dan dikelilingi tanaman
berduri. Tiang pegangannya pun berduri. Ayunan di atas bukit
“Harusnya
tempatku di sana. Aku ke sini untuk meminta bantuanmu.”
Aku
mengernyitkan dahi, berpikir keras bagaimana caranya aku bisa membantunya ke
sana, sementara aku tidak boleh meninggalkan ayunanku.
“Doakan aku.”
5 tahun berlalu...
Sekarang aku mengerti.
aku mengerti mengapa ia suka biru dan ingin ke ayunan yang mirip seperti neraka
itu. Aku tahu alasannya menghampiriku, namun tidak berani untuk duduk. Aku
paham betul mengapa ia merasa bersalah setelah aku mencemaskannya. Aku mengerti
mengapa ia meminta doa dariku.
Aku melepaskannya, dan
mendoakannya. Katanya, luka yang ia dapat dari tempatku tidak berarti apa-apa
dengan luka yang akan ia dapat di tempt barunya. Ia tidak akan mengingat
luka itu. Ia hanya akan mengingat cerita kami tentang biru. Ia akan mengingatku
juga, sebagai biru yang memar karena aku suka dengan tempat berbahaya, padahal
ada banyak tempat yang lebih baik.
Kemudian, ada
lagi yang datang. Belum apa-apa, sudah ingin duduk, tanpa permisi. Aku
mencegahnya, dan mengusirnya.
Lalu, ada lagi yang
datang. Si tukang cerita yang cerewet. Ia menceritakan kekagumannya pada
purnama. Dia benar, purnama memang cantik, menenangkan seperti biru. Namun,
purnama tidak selalu ada seperti biru laut dan biru langit.
“Boleh aku duduk?”
Tanyanya sopan menoleh ke ayunan kosong di sebelahku.
Aku menatapnya penuh
harap. Berharap, ia tahu risiko menduduki ayunan yang di bawahnya penuh dengan
batu kerikil tajam. Berharap, ia tahu bahwa ayunan kosong di sebelahku itu
sangat spesial bagiku. Aku tidak ingin sembarang orang duduk di sana.
Mungkin kalian bertanya, mengapa temanku yang bercerita tentang biru, langsung kuberi tawaran untuk duduk, sedangkan si tukang cerita tidak. Temanku yang menyukai biru adalah teman pertamaku, yang dengan tulus berteman denganku. Bersamanya, menatap laut yang sebenarnya terdengar bising karena ombak, menjadi suatu ketenangan yang tidak kudapatkan dimanapun.
Yogyakarta, 12 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar