Senin, 24 Januari 2022

Sebuah Pengakuan

 


Kali ini memutuskan untuk menuliskan sesuatu yang sangat personal bagiku baru-baru ini. Sebuah pengakuan. Kalau tidak ditulis, artinya belum diakui. Belum mengakuinya sama saja seperti menyiksa diri sendiri.

Akhirnya merasakan lagi perasaan kacau ini, yang membuat kehidupanku tidak berjalan sesuai dengan rencanaku. Ya, baru dua minggu sih, tapi ngefek banget.

Perasaan kacau yang kusebut dengan buku baru nan absurd. Yang membuatku rela membuang-buang waktu hanya untuk memahaminya. Semakin dipahami ternyata semakin buat kacau. 

Pun caraku bertemu dengan kekacauan ini terbilang aneh. Sudah menemukannya di April 2021 lalu, tapi baru terasa kacaunya baru-baru ini. Setelah aku punya teman intel yang berisik, haha. 

Kacau nan absurd. Ya, ini masalah. Ingin rasanya menghadapinya, namun aku pun tidak tahu harus menghadapinya seperti apa. Menerimanya? Tidak semudah itu menerimanya karena menerimanya adalah ketakutan terbesarku. Akan ada harapan-harapan jahat yang menghampiriku setelah proses penerimaannya. Tapi kalau tidak diterima, artinya menyangkal dong? Kan sudah janji tidak akan menyangkal apapun. 

Ya, ya, aku harus mengakui kalau aku senang dan takut dalam waktu yang bersamaan. Sejauh ini cukup menyadari dan mengakuinya. Untuk menerimanya dengan lapang dada, butuh waktu. Semoga kekacauan ini cepat menemukan jalan keluarnya. Entah seperti apa nanti akhirnya, ya serahkan saja pada-Nya. 



Minggu, 23 Januari 2022

Ber-Eksamen

 

    Akhirnya bisa ber-eksamen setiap hari. Setelah menjadi wacana sejak 2019, akhirnya terealisasikan di awal tahun 2022. Selamat, ya, aku. 

    Tiga minggu berproses. Sama Tuhan diajak jalan-jalan ke masa lalu. Perjalanan yang melelahkan memang. Dan, ya, sampai juga di proses penerimaan. Aku tahu, ini masih awal dari perjalanan panjangku. Di depan sana, aku akan menemukan kerikil-kerikil tajam, yang mungkin akan mengikis perasaan-perasaan negatif itu. Terimakasih, Tuhan. 

    Setelah membaca lagi hasil eksamen ku setiap hari, jadi sadar ternyata kehidupanku berubah sekali sejak lima tahun lalu, saat pertama kali marah ke Tuhan dan mogok doa. Aku terlalu sering lari dari masalah, hobi menyangkal perasaan-perasaan negatif. “Anak pertama itu harus kuat,” kalimat yang selalu ditanamkan ke diriku, dulu. Kalimat itu juga yang membuatku lupa, kalau aku manusia biasa yang bisa sedih, bisa nangis, bisa gagal, bisa ditolak.

    “Kamu jagain mama dan adik-adik, ya,” pinta orang-orang dewasa, kala itu. Permintaan yang menuntutku untuk jadi wonder woman. Kalimat yang membuatku hidup untuk keluargaku, bukan untuk diriku sendiri. Terlalu sayang mereka, terlalu protektif, terlalu posesif. Overthinking jadi makanan sehari-hari. Sampai akhirnya terlintas pertanyaan, “kalau aku yang jagain mama dan adik-adik, yang jagain aku siapa?” 

    Pak, maaf borumu ini gagal jadi orang kuat yang dibayangkan orang-orang. Borumu ini lemah, terlalu lemah. Tapi puji Tuhan sekarang dia sudah sadar, dan mau mengakui kalau dia lemah. Dia butuh pertolongan. Sebenarnya, Tuhan sudah menunjukkan pertolongan itu tiga tahun lalu. Tapi tiga tahun lalu, dia masih bebal. Tiga tahun lalu, borumu ini merasa kalau dia adalah anak perempuan yang paling kuat. 

    Proses ini membuatku sampai pada kesimpulan, kalau waktu yang baik itu bukan hanya saat kita bisa tertawa lepas, tapi juga saat kita sadar dan mau mengakui kalau kita sedang tidak baik-baik saja. It’s okay. Diterima sedih dan kecewanya, dirasain, jangan disangkal. Perasaan sedih dan kecewa pun butuh pengakuan dan penerimaan dari diri kita sendiri.

Minggu, 16 Januari 2022

Buku Baru


Kukira selama ini hidupku masih tentang purnama dan matahari. Ternyata enggak. Kukira aku akan terus menuliskan tentang rindu dan luka. Ternyata enggak juga. Terlalu lama mengejar mimpi orang lain, sampai lupa kalau aku punya dunia baru, buku baru. Masih belum tahu ceritanya tentang apa, masih dicoret-coret. 

2021 adalah tahun peralihan, masa pendewasaan yang paling menyakitkan, sejauh ini. Satu per satu teman pergi. Ada yang pergi karena mengejar mimpi, ada pula yang pergi karena sudah tidak satu visi. Ada yang pergi dengan pamit, ada pula yang pergi tanpa pamit. Merasa sendiri, merasa semua manusia sama saja, jahat. Takut yang berlebihan. Lalu sadar, ternyata aku sedang tidak baik-baik saja. Menyadari, dan mengakuinya adalah sebuah pencapaian luar biasa bagiku. Terimakasih, ya, aku. 


2021 juga jadi tahun dengan petualangan yang lebih seru dari tahun-tahun sebelumnya. Nyemplung ke dunia baru yang hampir membawaku ke mimpi masa kecilku. Hampir. Berarti belum sampai. Selain nyemplung ke dunia baru, aku juga nyemplung ke mimpi orang lain, mimpinya mama. Mimpinya mama supaya aku bisa kerja sesuai dengan ilmu yang sudah kupelajari di perkuliahan. Karena kekuatanku terbatas, aku harus merelakan mimpi masa kecilku itu. “Mungkin belum saat,” kataku memberi penghiburan pada diriku sendiri, kala itu. 


Ada satu lagi, aku tidak tahu menyebutnya apa. Namun, sejak April 2021 aku sudah mencoba mempelajarinya, menyoret-menyoretnya, tapi sampai sekarang bentuknya masih belum jelas. Absurd. Kuingat-ingat lagi, belakangan ini aku sering membukanya, memperhatikannya, dan mencari makna dibalik keabsurd-annya. Aneh, tapi aku senang membuang-buang waktuku untuk diam memandangnya. Sejam, sehari, seminggu, berminggu-minggu. Belum kutemukan juga. 


Kalau tahun sebelumnya aku identik dengan purnama, matahari, luka, dan rindu, bisa kupastikan tahun ini aku identik dengan  hal absurd itu.


Selamat tahun baru 2022. Selamat datang perjuangan baru. 


Yogyakarta, Januari 2022

Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...