Minggu, 21 Juli 2024

Menemui Mey 2022

 


Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak bisa tidur karena berbagai hal yang kusebut sebagai masalah. Dan kali ini aku kembali ke tempat ini untuk menemui diriku dan emosi-emosi yang belum selesai di tahun 2022.

“Hai Mey? Aku tahu kamu di sini,” aku terus menelusuri sudut-sudut ruang itu, mencari sosok Mey yang sedang sembunyi dari dunianya.

“Tidak perlu bersembunyi. Menangis itu manusiawi kok.”

Perempuan berambut pendek yang mirip sekali denganku  itu keluar dari persembunyiannya. “Maaf aku merepotkanmu lagi. Aku kesal, kecewa dengan diriku ini. Kenapa aku harus percaya lagi dengan dengan mereka? Kenapa aku harus merasakan sakit ini lagi? Aku malu karena melakukan kesalahan yang sama lagi.”

Aku tersenyum & mengelus kepalanya pelan. “Sini duduk dulu,” kataku sembari mengajaknya untuk duduk di kursi panjang depan kosku. Kursi panjang yang pernah jadi tempat favoritku untuk sekadar bengong melihat orang lalu lalang.

“Kita ini manusia. Kita punya hati untuk merasakan sesuatu. Kita tidak melakukan kesalahan yang sama, kita sedang check kondisi luka kita. Ingat ga pertama kali kita kecewa? Kita gak bisa tidur selama 3 hari. Bahkan kita gak bisa ngerasain apa-apa. Coba lihat sekarang? Kita masih bisa tidur seperti biasanya, bisa beraktivitas ya meskipun sedikit gak fokus.

“Tapi aku bodoh. Tidak seharusnya aku mempercayai mereka lagi.”

“Tenang. Belajar mempercayai orang lain itu baik, loh. Terlepas hasilnya kecewa atau tidak, setidaknya kita bangga karena sudah berani untuk belajar percaya. Kita tidak bodoh, kita hebat karena sudah mau belajar percaya. Tidak semua orang berani mempercayai orang lain.”

“Tapi… tetap aja aku kesal dengan diriku yang masih saja mau percaya meskipun sudah tahu hasil akhirnya. Aku kecewa karena aku tidak belajar dari kesalahan. Aku kesal karena aku sudah membuatmu tidak fokus & harus menepi untuk menemuiku di belakang. Harusnya kamu bisa berjalan lebih cepat dari ini.”

“Its okay. Kamu adalah bagian dari aku, aku adalah bagian dari kamu. Kita akan terus berjalan bersama. Jalan cepat atau lambat itu tidak penting, yang penting kita tetap saling ada.”

“Jadi kamu tidak marah dengan kesalahan yang aku buat?”

“Kenapa harus marah?”

“Terima kasih, Mey. Terima kasih sudah mau memimpin jalan dan tidak lupa melihat ke belakang. Benar katamu, rasa sakitnya sudah tidak intens seperti dulu. 


Selasa, 04 Juli 2023

Kan.

 “Kalau aku suka, aku pasti tak akan melewatkan update-an cerita media sosialnya.”


Sejak bulan ketiga kemarin, nama itu sempat absen dari deretan viewers ceritaku. Lalu sempat muncul lagi. Hilang lagi, muncul lagi, lalu hilang lagi. Sampai sekarang. Sudah terhitung satu bulan mungkin.


Kan, aku berhasil atau gagal?

Aku tidak lagi menarik hal-hal yang ingin kutinggalkan. Tapi, ada sedikit keresahan. Entah keresahan, rindu, atau rasa tidak siap, aku tidak tahu pasti. Namun yang pasti, dia sudah tidak suka aku lagi.


Harusnya itu kabar baik bukan? Aku tak perlu lagi bertanya, apakah dia rindu aku atau tidak? Apakah masih ada harapan untuk kami berdua? Apakah dia akan menyusulku di kota yang menyesakkan ini? Jawabannya sudah pasti tidak.


Kan, aku berhasil atau gagal?

Aku teringat lagi. Berpikir lagi. Bertanya lagi. Namun biar tidak terlalu jauh, sudah seharusnya aku menghentikan pertanyaan-pertanyaan tak penting itu. Ya, tidak perlu bertanya karena sejak awal aku sudah salah memilih. Ternyata hanya segitu saja upayanya. Ternyata memang bukan dia orangnya.  


Kalau tentang jarak yang kau ciptakan, ya kau berhasil.

Kalau tentang betul-betul melepaskannya, kau hampir berhasil.


Hai.


photo by : Pinterest.

            Hai kamu, yang jauh di sana, yang entah dari mana datangnya tiba-tiba sampai di sini. Terimakasih sudah mampir. By the way, sudah baca bagian mana aja? Oh, ya, sedikit perkenalan, blog ini sudah ada sejak aku SMA, sejak November 2016, tidak lama setelah kehilangan terbesarku. Dan sekarang sudah di 2023, sudah enam tahun lebih delapan bulan. Blognya masih begini-begini saja, tidak papa. Toh, memang tujuanku membuat blog ini adalah untuk mengarsipkan tulisan-tulisan yang menurutku layak dibaca banyak orang. Diarsipkan, siapa tahu nanti laptopku yang jadi tempat penyimpanan tulisanku rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi, kan aku tidak bakal kehilangan semua tulisanku. Tapi kalau ada yang baca, juga tidak apa-apa. Setidaknya, aku sudah punya sedikit keberanian untuk membagikan tulisanku. 
            Tadinya aku ingin menuliskan fiksi, tapi kurasa temanku yang bernama sistmajinasi itu sedang ngambek. Iya, dia ngambek tanpa memberikan alasan apapun, tiba-tiba saja dia tidak mau berdiskusi denganku mengenai tokoh fiksi yang sudah dan belum pernah kami ciptakan

Memang akhir-akhir ini duniaku sedang tidak baik-baik saja. Aku gampang marah, aku lebih sering tidak bersemangat daripada semangat, aku sering negatif-talk dengan si paling mikir, dan aku jarang melakukan examen. Tapi, apakah sistmajinasi ada hubungannya dengan kelemahan-kelemahanku tadi? Hmm, entahlah. Sistmajinasi memang sulit dimengerti.

Terkadang, dia bisa saja datang dan mengajakku berdiskusi saat aku sedang sibuk dengan kewajiban dan rutinitasku sebagai manusia (bekerja). 

“Bisa tidak kau datang saat aku sedang santai, rileks, dan punya banyak energi?” Tanyaku dengan intonasi sedikit meninggi seperti ingin mengusir saat dia mengajakku berdiskusi lagi setelah kelelahan dengan dunia nyataku.

 Ya, dia pergi. Pergi di waktu yang cukup lama. Nanti saat aku sudah dalam keadaan baik dan rileks, kupanggil dia, tidak pernah datang. Aneh memang. 

Katanya, dia teman baikku, bisa jadi teman untuk selamanya. Tapi, dibentak sedikit, eh ngambek. Ya, entahlah. Namun, meskipun begitu, aku berusaha untuk memahaminya. 


Jumat, 30 Juni 2023

Beruang Ikan

 



Kan, kalau butuh teman bilang

Tapi kau keras kepala

Suara hatimu semakin tak terdengar, Kan

Lalu bagaimana kau bisa mendengarkanku?

Kan, kalau butuh teman bilang

Pikiranmu itu sudah rusak dan usang

Tidak semua makhluk itu racun, Kan

Sudah kau jawab pertanyaan si Hindia itu?

Kan, kalau butuh teman bilang

Kau hampir mati

Lihat! Laut sudah dekat, Kan

Bergeraklah, Kan! Kau dengar aku kan?

****

“Hidup itu hanya tentang dua hal, ya. Kalau tidak senang, ya, sedih. Kalau tidak benar, ya, salah. Kalau tidak punya teman, ya, sendiri. Kalau tidak kerja, ya, pengangguran.”

Seekor beruang ikan bergegas menuju laut dan menenggelamkan kepalanya ke dalam. Agak lama.

“Kalau tidak jadi ikan, ya, jadi beruang.”

Di tempat lain, seorang perempuan muda yang sedang bermeditasi, terbelalak matanya.  Bayangan apa muncul tadi ? Seekor beruang atau ikan? Dia bisa bicara? Aku sedang bermeditasi atau berimajinasi, ya?

Perempuan muda itu melihat boneka beruang yang didudukkan di sebelah tumpukan bantalnya. Teddy, apakah tadi itu kamu? tanyanya dalam hati, melototi boneka beruang, berharap boneka itu bisa berbicara seperti bayangan yang muncul tadi. 

Tiga puluh detik. Tidak ada suara. Perempuan muda itu memasang wajah kecewa. Ia bangkit menuju kasurnya dan menghempaskan badannya ke kasur. Ia menutupi wajahnya. Masih tidak habis pikir dengan bayangan yang ia lihat tadi. 

Akhir-akhir ini, hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja. Ia baru saja putus dari pacarnya. Dan, ia masih tinggal di rumah. Ya, rumah yang isinya ibu kandung, ayah angkat, adik-adik,dan banyak problematikanya yang tak pernah usai, yang ada entah sejak kapan. Duduk bersila, bermeditasi, lalu menulis jurnal adalah rutinitas malamnya untuk menjaga kewarasannya. 

Ia memandang langit-langit kamarnya. Apa aku sudah gila? tanyanya pada dirinya sendiri. Malam ini ia memutuskan untuk tidak menulis jurnalnya. Ia memilih tenggelam dalam pikirannya sendiri mengenai bayangan tadi, hingga akhirnya ia tertidur. 

****

“Bertahan hidup ternyata sesulit ini, ya? Tapi untuk apa aku bertahan disini? Tidakkah berada di dalam air lebih menyenangkan?”

Terdengar suara anak-anak burung pelikan dari kejauhan. Itu adalah panggilan alam untuknya. Tanpa menunggu kelompok anak burung pelikan sampai di pantai, beruang ikan masuk ke dalam laut. Berenang bebas, menggerakkan tangan beruangnya dan ekor ikannya, menikmati keindahan bawah laut. Berenang adalah satu-satunya hal yang menyenangkan hatinya, satu-satunya alasan untuknya bertahan hidup. Berenang mencari ikan kecil untuk tiga anak burung pelikan yang malang karena ibunya mati keracunan.

Beruang ikan keluar dari  laut lalu menghampiri anak burung pelikan yang sudah menunggu di tepian pantai. Sesampainya di sana, ia memuntahkan beberapa ikan kecil dari dalam mulutnya. Ia tersenyum bahagia, selalu ada kepuasan tersendiri saat melihat ketiga anak burung pelikan bisa makan dengan lahap. 

“Apakah aku hidup hanya untuk memberi makan anak pelikan ini?”

Beruang lalu berlari menuju laut. Ia menenggelamkan wajahnya lagi.

“Kalau aku selamanya tinggal di laut dan sesekali naik ke darat untuk mencari makan, bagaimana nasib anak-anak burung pelikan itu?”

Ia menenggelamkan wajahnya lagi. 

“Bodoh! Kamu itu ikan. Topengmu saja yang berbentuk beruang. Harusnya kamu di laut. Di laut juga ada tumbuhan, kan? Kamu bisa makan tumbuhan laut. Kenapa harus memikirkan anak burung pelikan kalau dirimu saja menderita dan hampir mati setiap saat.”

Nafas beruang tersengal. Setetes dua tetes air mengalir dari kedua matanya.

Perempuan muda itu tersentak. Matanya terbelalak lagi. Aku sedang bermeditasi atau berimajinasi ya?

Tak ingin ambil pusing,wanita itu memilih membaringkan diri di kasur dan mencoba untuk segera tidur agar tidak berpikir dan mempertanyakan bayangan yang ia lihat tadi.

****

“Kenapa masih diam saja? Tidakkah kamu tahu kamu tidak pernah bahagia?” 

Beruang menenggelamkan wajahnya. Agak lama. 

“Kamu itu cocoknya jadi pelukis bukan social media specialist” 

Untuk ketiga kalinya, mata perempuan muda itu terbelalak. Tadi beruang ikan berbicara padaku? Ia menampar pipi kirinya.”Aw,” keluhnya kesakitan. Ia menampar pipi kanannya lagi, dan mengeluh kesakitan juga.

“Aku sedang bermeditasi atau berimajinasi,ya?” 

Mengingat kalimat yang diucapkan beruang ikan tadi, matanya langsung tertuju pada kain putih yang menutupi sebuah benda yang tak lain adalah lukisan terbaiknya. Ia sengaja menutup lukisan itu dengan kain putih supaya dia lupa, supaya ia tidak melukis lagi karena dengan melukis membuatnya tidak fokus bekerja. Ya, pekerjaan tetapnya sekarang sebagai social media specialist di salah satu brand skincare sudah menghasilkan uang. Tidak banyak, tetapi setidaknya cukup untuk biaya hidupnya dan tambahan untuk biaya dapur keluarganya. Kalau sejak dulu ia fokus melukis, ia mungkin belum menghasilkan uang atau bahkan bisa jadi penghasilannya lebih banyak, siapa yang tahu? 

“Ah anak TK pun bisa melukis, Lis. Ngapain kamu ngelukis? Penghasilannya gak tetap, loh. Mending kamu kerja kantoran aja, sudah pasti dapat gaji setiap bulan.” Begitu ibunya menasehatinya ketika ia mengungkapkan keinginannya untuk melukis, dulu.

Ia menatap sambil menyentuh lukisannya, dari kiri ke atas, lalu ke kanan, dan ke bawah. Tanpa ada aba-aba, air matanya turun. 

Kamu itu cocoknya jadi pelukis bukan jadi social media specialist.

Kalimat beruang ikan itu terngiang-ngiang di kepalanya, membuat tangisnya pecah lalu terduduk di dekat lukisannya.

Ia teringat hari-hari di mana ia beradu pendapat dengan mantan pacarnya mengenai lukisannya dan masa depannya. 

“Kamu punya bakat dalam hal melukis, Lis. Banyak yang suka. Bahkan temanku ada yang ingin membelinya. Kamu bisa melukis, jualan lukisan dan jadikan itu side hustle kamu. Nanti kalau sudah oke penghasilan dari melukis, kamu bisa resign dari kantor dan fokus melukis. Seumur hidup kamu bisa melukis, Lis”

“Kamu itu pengecut, Lis. Kan, bisa kamu ngekos dekat kantor, trus pulang ke rumah sekali seminggu. Biar kamu gak capek di jalan, biar kamu punya waktu sendiri. Kamu juga bisa memantau keadaan rumah dengan video call ke mereka, kan? Kalau kamu mau, sekali atau dua kali seminggu aku bisa antar jemput kamu ke rumah kamu.”

“Maaf, Lis. Aku gak bisa hidup sama orang yang gak bisa memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri. Aku gak bisa mencintai orang yang belum mencintai dirinya sendiri.”

Tangisnya menjadi-jadi, kali ini diiringi dengan sesak di dada dan sakit kepala. Ia membenarkan posisinya, duduk tegak, dan menarik nafas panjang, berharap tangisnya bisa berhenti dalam satu tarikan nafas panjang.Ia mencoba untuk bermeditasi, entah bermeditasi atau berimajinasi, tujuannya adalah bisa berbicara pada beruang ikan. 

Dua menit keheningan itu berlangsung, namun gagal. Ia tidak bisa fokus, tangisnya semakin tidak terbendung. Ia lalu mengusap pipinya yang basah dengan tisu lalu berjalan menuju meja kerjanya. Dicarinya buku jurnalingnya, dan dituliskannya pesan untuk beruang ikan. Ia menulis sambil menangis. Kata demi kata dituliskannya tanpa perlu memikirkan apakah kalimat ini sudah sesuai kaida EYD atau tidak.Ditulisnya saja apa yang terlintas di pikirannya. Sesekali ia berhenti menulis untuk mengusap air yang membanjiri pipinya.

Beruang ikan. Terimakasih sudah datang dan membuatku sadar. Aku sudah terlalu jauh berjalan dari rumahku. Entah, sebenarnya aku tidak paham rumah yang mana maksudku, namun aku bisa rasa aku sedang berada di jalan yang tidak seharusnya aku pilih. Kamu ajaib! Kamu tahu isi hatiku. Bertahun-tahun hatiku selalu memintaku untuk fokus melukis tapi tidak pernah kuindahkan permintaannya. Aku terlalu terpaku pada logikaku dan kata orang-orang sekitarku. Sekarang keadaanku semakin tidak baik, aku sudah kehilangan banyak hal dan banyak orang, masih bisakah aku mengejar mimpiku untuk menjadi pelukis? Beruang ikan, aku tidak yakin pada diriku sendiri, bisakah kau yakinkan aku? Datang lah lagi beruang ikan


Minggu, 18 Juni 2023

Bukan Tempat Menyedihkan Lagi



Stasiun, tempat bertemu dan berpisah satu manusia dengan manusia lainnya. Setahun yang lalu, aku pernah mengatakan pada diriku, “stasiun adalah tempat paling menyedihkan setelah kampung halaman bapak.” Iya, itu aku setahun yang lalu. Setahun yang lalu saat aku berangkat dari Yogyakarta ke Bekasi. Setahun yang lalu, saat aku berpisah dengan pria yang paling dekat denganku saat itu.

Setahun yang lalu. Kukira perpisahan kami di stasiun itu hanya perpisahan sementara.Ternyata tidak juga. Perpisahan itu mungkin bisa jadi perpisahan untuk selamanya. Cerita kami selesai sebelum dimulai, di stasiun.

Lalu bagaimana sekarang? Stasiun adalah tempat pelarian terbaikku. Di stasiun aku melihat banyak manusia dengan segala keruwetan hidupnya yang terlihat di sorot matanya. Pagi hari, sekitar pukul 07.00-09.00, stasiun terlihat sangat sibuk. Setiap menitnya terdengar pengumuman kereta A akan segera tiba atau pintu kereta B akan ditutup dan segera berangkat. 

Di stasiun, aku bisa melakukan banyak hal. Aku bisa sekadar duduk, memasang headphone, lalu memutar playlist kesukaanku. Atau aku bisa sekadar duduk dan membaca buku. Atau bahkan aku memperhatikan manusia-manusia yang lewat, menebak-nebak, “kira-kira kakak cantik kemeja coklat itu tujuannya ke stasiun mana ya? Sedang mengejar apa sih dia sampai harus lari terbirit-birit begitu? Mengejar mimpinya atau mengejar mimpi orang lain? Atau jangan-jangan dia hanya sekadar mengejar sebuah keharusan? Keharusan bangun pagi, berangkat dari stasiun Bekasi ke stasiun BNI City demi sesuap nasi mungkin. Atau keharusan mengejar klien demi seperangkat skincare?” Aku tidak tahu. Tapi aku senang dengan pikiran kepo itu. 

Pada akhirnya, selama setahun di kota metropolitan ini, aku mendapat satu pemahaman baru, bahwa Stasiun bukan hanya tentang tempat pertemuan dan perpisahan. Stasiun bisa juga jadi arena lomba di pagi hari, dimana manusia berlari tanpa memperdulikan orang sebelahnya untuk bisa sampai di tujuan tepat waktu atau bahkan beberapa ingin sampai lebih cepat. Stasiun bisa jadi tempat pelarian diri seperti yang kulakukan akhir-akhir ini. Saat urusanku sudah selesai, aku tidak langsung pulang. Aku sengaja duduk santai di stasiun, aku sengaja menenggelamkan diri di tengah lautan manusia. Pun stasiun bisa jadi tempat transit untuk sekadar buang air kecil, seperti yang dilakukan entah siapa namanya, tapi aku yakin pasti ada.

Sekarang, stasiun bukan lagi tempat yang menyedihkan, bagiku. Entah tahun depan pemahamanku akan berganti lagi, siapa yang tahu? Tidak ada.

Bekasi, 18 Juni 2023

ms


Minggu, 16 April 2023

Anda Tidak Berhasil Melanjutkan Tahapan Evaluasi Lanjutan

 


“Kira-kira ada kejutan apa ya di bulan April tahun ini?” 


Aku sedang mengutak-atik google sheet pekerjaanku saat itu, hari kedua di bulan April. Dua bulan terakhir hidupku sangat baik. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang aku mau. Bahkan aku rela bekerja di Sabtu atau Minggu, karena aku suka. Aku bisa nge-kos lagi. Aku kenal teman-teman yang hebat. Belajar banyak hal baru pada pekerjaanku. Aku sangat-sangat menyukai kehidupanku saat itu.


Sejauh ini tidak ada yang tanda akan terjadinya hal buruk seperti April tahun-tahun sebelumnya. Akankah bulan April tahun ini akan berbeda ? Semua tampak baik-baik saja. Aku bahagia. 


Dua hari kemudian.

“Anda Tidak Berhasil Melanjutkan Tahapan Evaluasi Lanjutan.”

Pukul 18.42. Ketika aku dalam perjalanan dari kantor menuju kos. 

Hari itu, harusnya aku selesai bekerja pukul 16.30. Tetapi aku memilih untuk bekerja lebih lama dari sebelumnya karena saat itu pekerjaan sedang banyak-banyaknya.


“Ah, mungkin ini salah kirim,” gumamku dalam hati.

Aku melihat waktu pengiriman pesan tersebut. Sepuluh menit yang lalu. Langkahku terasa semakin cepat. Kuhiraukan bapak-ibu tetangga kosku yang biasa aku sapa saat pulang kerja.


“Sudah lima belas menit berlalu. Harusnya kalau salah kirim, kakaknya narik pesannya, dong.”


Akhirnya aku membalas pesan tersebut. Memastikan kalau besok aku sudah tidak bekerja lagi. Aku masih berharap kalau kakak HR tersebut membalas pesanku dan mengatakan kalau ia salah kirim. Tetapi tidak. Ia tidak salah kirim. Besok aku diminta ke kantor untuk mengembalikan aset kantor. Aku dinyatakan tidak berhasil. Dieliminasi. Melalui personal chat WA.


Lima menit aku menangis. Aku terdiam. 

Kenapa aku menangis? Karna aku dieliminasi. Aku pengangguran lagi. 

Kenapa aku dieliminasi? Sejauh ini aku tidak pernah mendapatkan evaluasi maupun feedback yang sangat jelek dari buddy maupun seniorku.


Aku mencoba bertanya kepada teman-temanku, apakah mereka mendapat pesan Berhasil atau Tidak Berhasil sepertiku. Mereka berhasil.


Kukatakan pada mereka, aku Tidak Berhasil.

“Ya kali lo gagal. Jelas-jelas lo paling rajin. Posisi lo juga paling aman.”

Kukirim bukti pesan dari kakak HR.

“Anjing, gak jelas ini penilaiannya. Gak terima gue”

“Ini gak adil. Gilak kali mereka gak bisa menilai.”

“Gak jelas banget, anjing.”

Begitu respon mereka.


Sebenarnya aku tidak ingin membandingkan hasil pekerjaanku dengan hasil pekerjaan salah satu temanku. Tapi, sangat jelas kalau hasil pekerjaanku lebih baik daripada hasil pekerjaannya. Dia pun mengakui itu. Tapi kenapa dia Berhasil aku Tidak Berhasil?


Marah. Kecewa. Rasanya ini tidak adil.

Aku diam lagi. Aku berkata kepada diriku sendiri:

“Kamu sudah bekerja sebaik mungkin. Kamu punya potensi. Kalau memang kamu dinyatakan tidak berhasil, bukan salah kamu. Bukan salah siapa-siapa. Tempat ini memang tidak cocok denganmu. Nanti, kita cari tempat kerja yang lebih baik lagi, ya.”


Seminggu setelah aku last day, aku mendapat informasi dari temanku yang masih bertahan di sana, alasan mengapa aku dinyatakan Tidak Berhasil. Dan, memang benar. Aku dieliminasi bukan karena hasil kerjaku buruk maupun aku melakukan kesalahan besar. Aku dieliminasi karena aku memang tidak cocok ada di sana. Aku pantas mendapatkan tempat kerja yang jauh lebih baik.


Waktunya memang sangat singkat. Tapi aku banyak belajar. Perihal ketidak cocokan itu & evaluasi-evaluasi lainnya, biarlah menjadi bekalku untuk kedepannya. Meskipun rasanya tidak adil, tetapi aku bersyukur. Aku bisa terbang lebih jauh lagi. Terima kasih. Aku pamit.


Untuk teman-teman yang ada di frame, terima kasih,ya. Semangat berjuang. Nanti kita nongkrong lagi.


Bekasi, 16 April 2023
ms

Selasa, 04 Oktober 2022

Berisik

   
    Malam itu, seperti biasanya. Di bawah langit berpurnama. Dia datang menghampiriku. Mengajakku bercakap-cakap. 
    "Apa kabar?" tanyanya. 
  "Seperti yang kamu lihat sekarang," jawabku dengan wajah tertekuk.
    "Di sini berisik, ya?" terkanya menatapku dalam.
  Dia mengalihkan pandangannya dariku. "Mereka hanya bisa berbicara sesuka mereka. Berbicara seakan-akan mereka paling keren, paling baik, dan kamu...," dia menoleh ke arahku.
   "Bagi mereka, kamu bukan siapa-siapa, cuma perempuan yang belum dewasa dan tidak bisa apa-apa. Bahkan ada yang bilang, kamu tidak pantas menjadi seperti apa yang kamu cita-citakan," lanjutnya lagi.
  Sedari tadi aku menahan air mataku. Tumpah. Makhluk yang datangnya sekali-kali ini memang jahat. Namun dia juga yang paling mengerti aku.
    Dia kembali menatap purnama. "Tidak apa-apa. Nangis saja."
   "Maaf sudah membiarkanmu sesedih ini. Maaf kalau keputusan-keputusan kita di masa lalu itu salah. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar salah jika kita bisa mempertanggungjawabkannya. Tapi ya, hari itu kepalamu lagi penuh. Kamu kehilangan wadah untuk menampung semua isi kepalamu itu sampai kamu lupa sama prioritas dan tanggung jawabmu. Duniamu terlalu berisik," ucapnya menatapku kasihan.
    "Kamu tidak mau ikut aku?" tanyanya menunjuk ke arah kanannya. Di sebelah kanannya ada lorong gelap sekali. Sedari tadi kami duduk, hanya beberapa orang yang masuk ke dalam lorong itu. Ada yang keluar juga, tapi jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah yang masuk.
    "Di tempatku tidak berisik seperti di tempatmu. Menurutku di manapun dan kapanpun, kamu akan selalu menemukan luka baru untuk diolah. Kamu juga akan selalu bertemu dengan orang-orang nyinyir. Tapi setidaknya jumlahnya tidak sebanyak seperti yang kamu temui biasanya. Ya, di tempatku memang tidak sebebas di tempatmu namun ketidakbebasan itu lah yang membuat tempatku lebih tenang daripada tempatmu."
    Aku hanya diam mematung.
    "Kamu betul tidak mau ikut denganku?"
 




Minggu, 21 Agustus 2022

Buku Baru Lagi?

     

    Sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Ini sudah ada sejak April tahun lalu tapi baru kusadari keberadaannya Januari 2022 lalu. Sekarang sudah Agustus. Aku menemukannya lagi. Buku baru. Padahal sudah lama tapi masih kuanggap baru, haha. Kubaca kembali, kucoba pahami lagi. 

    Dia masih hal absurd yang sulit dipahami. Namun, gak berarti aku gak bisa memahaminya. Bisa, cuma butuh waktu aja. Akhir-akhir ini aku bersemangat dibuatnya. Kubaca pelan-pelan, kucerna maksud dari tiap paragrafnya dan kupetik pesan dari tiap babnya. Banyak hal yang baru kusadari darinya. Aku semakin terbuka dalam berpikir, diajak untuk meninjau ulang nilai-nilai hidup yang kupegang. 

    Ini buku yang aku cari dari dulu. Buku yang mengajarkan banyak hal tapi gak terlihat seperti mengguruiku. Aku gak merasa bodoh dibuatnya. Buku yang bisa kubaca kapanpun dan dimanapun. Kecil bukunya, tapi isinya wah...

    Buku ini berbeda sekali dengan buku sebelumnya. Buku dengan sampul 'nyeni' dan judul bombastis. Harganya mahal eh ternyata isinya gak jelas. Oh maaf. Mungkin bukan isinya yang gak jelas, tapi aku yang tidak cocok dengan isi buku ini. Awalnya aku menyesal beli bukunya tapi sekarang enggak. 

    Sekarang buku itu udah jadi masa laluku. Meskipun banyak gak jelasnya dan bikin sakit kepala tapi aku belajar bahwa quotes 'dont judge book by its cover' benar adanya. Dari buku itu aku juga belajar bahwa gak semua hal harus tuntas dan selesai. Ada beberapa hal yang emang porsinya selesai di setengah perjalanan aja. 

    Kembali ke buku baru. Aku sudah hampir selesai membacanya. Tapi aku enggan untuk selesai. Takut kalau akhir dari buku ini gak sesuai dengan ekspektasiku. Mungkin kalau akhir dari buku ini sesuai ekspektasiku, akan kubaca ulang dan kujadikan buku pegangan selamanya. Tapi kalau enggak, mungkin dia akan jadi salah satu buku terbaik yang pernah kubaca. Akan kukenang. Setidaknya kenangan dengan buku yang sekarang akan lebih manis daripada kenangan dengan buku sebelumnya. 

Kamis, 17 Februari 2022

Hai, Matahari.

 

Aku menyebutnya matahari. Seorang teman baik yang hobinya membakar semangatku. Ia sangat berapi-api dengan ambisi. Dan biasanya orang yang dekatnya pun akan jadi manusia yang sangat bersemangat dan berambisi. “Semangat, Mey,” kata-kata yang selalu terucap dari mulutnya setelah kami bercerita panjang lebar. Selalu itu, kayak gak ada kata-kata lain. 

Dia teman bercerita yang baik, dulu. Ya, dulu. Sekarang? Dia hanya penonton setia storyku. Teman satu grup WA yang bertegur sapa saat ulang tahun dan hari besar saja. Itupun bertegur sapanya di dalam grup. Tidak pernah bertegur sapa melalui personal chat lagi. Hampir menjadi orang asing. Mungkin beberapa bulan lagi, kita lihat saja. 

Kemarin, ia mampir ke berandaku. Menunjukkan solidaritasnya sebagai teman. Lalu, tidak lama setelah itu, dia muncul dengan senyum khasnya bersama dengan lagu sedih kesukaannya. Lagu perpisahan sementara. Lagi dan lagi tentang perpisahan sementara.  

Tentangnya masih menjadi rahasia. Hobinya menjadi manusia yang menyedihkan, padahal dia matahari. Dia terluka, tapi dia tidak menyadarinya. Dia temanku, akan selalu menjadi temanku. 

Hai, matahari. Tetap hidup dengan segala ambisimu, ya. Di belahan bumi manapun kamu berada, tetaplah hidup seperti matahari yang siap memberi cahaya untuk orang sekitarmu dan selalu membakar semangat orang yang patah hati. 

Yogyakarta, 16 Februari 2022

ditulis saat mendengar lagu kesukaannya.


Kamis, 10 Februari 2022

Iseng - Iseng

 



Jadi gambar di atas adalah cuplikan dari karyaku pada kompetisi menulis skenario 2021 silam. Namanya kompetisinya Maxscript Class 2021 yang diadakan oleh Maxstream & Wahana Edukasi.

Aku yang dari dulu cuma bisa menuliskan isi kepala saja eh ternyata bisa menulis skenario juga. Jatuh cinta dengan dunia kepenulisan sejak SMP. Sudah sebelas tahun, tapi belum jadi penulis. Ya, gapapa. 

Awalnya menulis cuma jadi pelarian saat lagi penat dan berantakan, tapi sekarang rasanya pengen jadi penulis beneran, deh. Belum tahu sih, mau jadi penulis novel atau penulis skenario, ya intinya mau jadi penulis. 

Jadi mau cerita keisengan tahun lalu. Iseng ikut kompetisi menulis skenario. Iseng aja, eh ternyata sampai jadi Top 10 Finalist. Akhirnya, untuk pertama kalinya, hobi menulisku menghasilkan uang dan dihargai lebih banyak orang.

Kita gak pernah tahu kalau gak kita coba. Sebenarnya, sebelum iseng ikut kompetisi menulis skenario, udah beberapa kali coba ikut kompetisi menulis novel, tapi belum rezeki. Belum coba kirim karya ke penerbit, sih. Tapi mungkin nanti akan dicoba. 

Senang, bersyukur, dan bangga sama diri sendiri karena udah berani iseng ikut kompetisi dan berani berjuang sampai akhir. Hal yang paling membanggakan bukan karena masuk Top 10 Finalist, dan hadiahnya, tapi karena bisa belajar dan diskusi langsung sama orang-orang keren di industri film seperti mbak Gina S. Noer, mas Salman Aristo, mas Arief Ash Shiddiq, mas Yandi Laurens, dan mas Eka Kurniawan. Waw, jadi pengalaman yang gak bakal terlupakan pokoknya. 

Selesainya Maxscript Class 2021 gak berarti selesai juga perjalanan menulisku. Selesai Maxscript Class 2021 adalah awal dari perjalanan menulisku, khususnya menulis skenario. Masih terus belajar, dan mengasah diri dalam dunia kepenulisan. 

Oh ya, jangan lupa mampir ke akun kwikku, ya. Disana aku menulis cerita fiksi. Tenang, baca ceritanya masih gratis, kok. Hehe.  Ini linknya :https://www.kwikku.com/meysam.

Senin, 24 Januari 2022

Sebuah Pengakuan

 


Kali ini memutuskan untuk menuliskan sesuatu yang sangat personal bagiku baru-baru ini. Sebuah pengakuan. Kalau tidak ditulis, artinya belum diakui. Belum mengakuinya sama saja seperti menyiksa diri sendiri.

Akhirnya merasakan lagi perasaan kacau ini, yang membuat kehidupanku tidak berjalan sesuai dengan rencanaku. Ya, baru dua minggu sih, tapi ngefek banget.

Perasaan kacau yang kusebut dengan buku baru nan absurd. Yang membuatku rela membuang-buang waktu hanya untuk memahaminya. Semakin dipahami ternyata semakin buat kacau. 

Pun caraku bertemu dengan kekacauan ini terbilang aneh. Sudah menemukannya di April 2021 lalu, tapi baru terasa kacaunya baru-baru ini. Setelah aku punya teman intel yang berisik, haha. 

Kacau nan absurd. Ya, ini masalah. Ingin rasanya menghadapinya, namun aku pun tidak tahu harus menghadapinya seperti apa. Menerimanya? Tidak semudah itu menerimanya karena menerimanya adalah ketakutan terbesarku. Akan ada harapan-harapan jahat yang menghampiriku setelah proses penerimaannya. Tapi kalau tidak diterima, artinya menyangkal dong? Kan sudah janji tidak akan menyangkal apapun. 

Ya, ya, aku harus mengakui kalau aku senang dan takut dalam waktu yang bersamaan. Sejauh ini cukup menyadari dan mengakuinya. Untuk menerimanya dengan lapang dada, butuh waktu. Semoga kekacauan ini cepat menemukan jalan keluarnya. Entah seperti apa nanti akhirnya, ya serahkan saja pada-Nya. 



Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...