Selasa, 04 Juli 2023

Kan.

 “Kalau aku suka, aku pasti tak akan melewatkan update-an cerita media sosialnya.”


Sejak bulan ketiga kemarin, nama itu sempat absen dari deretan viewers ceritaku. Lalu sempat muncul lagi. Hilang lagi, muncul lagi, lalu hilang lagi. Sampai sekarang. Sudah terhitung satu bulan mungkin.


Kan, aku berhasil atau gagal?

Aku tidak lagi menarik hal-hal yang ingin kutinggalkan. Tapi, ada sedikit keresahan. Entah keresahan, rindu, atau rasa tidak siap, aku tidak tahu pasti. Namun yang pasti, dia sudah tidak suka aku lagi.


Harusnya itu kabar baik bukan? Aku tak perlu lagi bertanya, apakah dia rindu aku atau tidak? Apakah masih ada harapan untuk kami berdua? Apakah dia akan menyusulku di kota yang menyesakkan ini? Jawabannya sudah pasti tidak.


Kan, aku berhasil atau gagal?

Aku teringat lagi. Berpikir lagi. Bertanya lagi. Namun biar tidak terlalu jauh, sudah seharusnya aku menghentikan pertanyaan-pertanyaan tak penting itu. Ya, tidak perlu bertanya karena sejak awal aku sudah salah memilih. Ternyata hanya segitu saja upayanya. Ternyata memang bukan dia orangnya.  


Kalau tentang jarak yang kau ciptakan, ya kau berhasil.

Kalau tentang betul-betul melepaskannya, kau hampir berhasil.


Hai.


photo by : Pinterest.

            Hai kamu, yang jauh di sana, yang entah dari mana datangnya tiba-tiba sampai di sini. Terimakasih sudah mampir. By the way, sudah baca bagian mana aja? Oh, ya, sedikit perkenalan, blog ini sudah ada sejak aku SMA, sejak November 2016, tidak lama setelah kehilangan terbesarku. Dan sekarang sudah di 2023, sudah enam tahun lebih delapan bulan. Blognya masih begini-begini saja, tidak papa. Toh, memang tujuanku membuat blog ini adalah untuk mengarsipkan tulisan-tulisan yang menurutku layak dibaca banyak orang. Diarsipkan, siapa tahu nanti laptopku yang jadi tempat penyimpanan tulisanku rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi, kan aku tidak bakal kehilangan semua tulisanku. Tapi kalau ada yang baca, juga tidak apa-apa. Setidaknya, aku sudah punya sedikit keberanian untuk membagikan tulisanku. 
            Tadinya aku ingin menuliskan fiksi, tapi kurasa temanku yang bernama sistmajinasi itu sedang ngambek. Iya, dia ngambek tanpa memberikan alasan apapun, tiba-tiba saja dia tidak mau berdiskusi denganku mengenai tokoh fiksi yang sudah dan belum pernah kami ciptakan

Memang akhir-akhir ini duniaku sedang tidak baik-baik saja. Aku gampang marah, aku lebih sering tidak bersemangat daripada semangat, aku sering negatif-talk dengan si paling mikir, dan aku jarang melakukan examen. Tapi, apakah sistmajinasi ada hubungannya dengan kelemahan-kelemahanku tadi? Hmm, entahlah. Sistmajinasi memang sulit dimengerti.

Terkadang, dia bisa saja datang dan mengajakku berdiskusi saat aku sedang sibuk dengan kewajiban dan rutinitasku sebagai manusia (bekerja). 

“Bisa tidak kau datang saat aku sedang santai, rileks, dan punya banyak energi?” Tanyaku dengan intonasi sedikit meninggi seperti ingin mengusir saat dia mengajakku berdiskusi lagi setelah kelelahan dengan dunia nyataku.

 Ya, dia pergi. Pergi di waktu yang cukup lama. Nanti saat aku sudah dalam keadaan baik dan rileks, kupanggil dia, tidak pernah datang. Aneh memang. 

Katanya, dia teman baikku, bisa jadi teman untuk selamanya. Tapi, dibentak sedikit, eh ngambek. Ya, entahlah. Namun, meskipun begitu, aku berusaha untuk memahaminya. 


Jumat, 30 Juni 2023

Beruang Ikan

 



Kan, kalau butuh teman bilang

Tapi kau keras kepala

Suara hatimu semakin tak terdengar, Kan

Lalu bagaimana kau bisa mendengarkanku?

Kan, kalau butuh teman bilang

Pikiranmu itu sudah rusak dan usang

Tidak semua makhluk itu racun, Kan

Sudah kau jawab pertanyaan si Hindia itu?

Kan, kalau butuh teman bilang

Kau hampir mati

Lihat! Laut sudah dekat, Kan

Bergeraklah, Kan! Kau dengar aku kan?

****

“Hidup itu hanya tentang dua hal, ya. Kalau tidak senang, ya, sedih. Kalau tidak benar, ya, salah. Kalau tidak punya teman, ya, sendiri. Kalau tidak kerja, ya, pengangguran.”

Seekor beruang ikan bergegas menuju laut dan menenggelamkan kepalanya ke dalam. Agak lama.

“Kalau tidak jadi ikan, ya, jadi beruang.”

Di tempat lain, seorang perempuan muda yang sedang bermeditasi, terbelalak matanya.  Bayangan apa muncul tadi ? Seekor beruang atau ikan? Dia bisa bicara? Aku sedang bermeditasi atau berimajinasi, ya?

Perempuan muda itu melihat boneka beruang yang didudukkan di sebelah tumpukan bantalnya. Teddy, apakah tadi itu kamu? tanyanya dalam hati, melototi boneka beruang, berharap boneka itu bisa berbicara seperti bayangan yang muncul tadi. 

Tiga puluh detik. Tidak ada suara. Perempuan muda itu memasang wajah kecewa. Ia bangkit menuju kasurnya dan menghempaskan badannya ke kasur. Ia menutupi wajahnya. Masih tidak habis pikir dengan bayangan yang ia lihat tadi. 

Akhir-akhir ini, hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja. Ia baru saja putus dari pacarnya. Dan, ia masih tinggal di rumah. Ya, rumah yang isinya ibu kandung, ayah angkat, adik-adik,dan banyak problematikanya yang tak pernah usai, yang ada entah sejak kapan. Duduk bersila, bermeditasi, lalu menulis jurnal adalah rutinitas malamnya untuk menjaga kewarasannya. 

Ia memandang langit-langit kamarnya. Apa aku sudah gila? tanyanya pada dirinya sendiri. Malam ini ia memutuskan untuk tidak menulis jurnalnya. Ia memilih tenggelam dalam pikirannya sendiri mengenai bayangan tadi, hingga akhirnya ia tertidur. 

****

“Bertahan hidup ternyata sesulit ini, ya? Tapi untuk apa aku bertahan disini? Tidakkah berada di dalam air lebih menyenangkan?”

Terdengar suara anak-anak burung pelikan dari kejauhan. Itu adalah panggilan alam untuknya. Tanpa menunggu kelompok anak burung pelikan sampai di pantai, beruang ikan masuk ke dalam laut. Berenang bebas, menggerakkan tangan beruangnya dan ekor ikannya, menikmati keindahan bawah laut. Berenang adalah satu-satunya hal yang menyenangkan hatinya, satu-satunya alasan untuknya bertahan hidup. Berenang mencari ikan kecil untuk tiga anak burung pelikan yang malang karena ibunya mati keracunan.

Beruang ikan keluar dari  laut lalu menghampiri anak burung pelikan yang sudah menunggu di tepian pantai. Sesampainya di sana, ia memuntahkan beberapa ikan kecil dari dalam mulutnya. Ia tersenyum bahagia, selalu ada kepuasan tersendiri saat melihat ketiga anak burung pelikan bisa makan dengan lahap. 

“Apakah aku hidup hanya untuk memberi makan anak pelikan ini?”

Beruang lalu berlari menuju laut. Ia menenggelamkan wajahnya lagi.

“Kalau aku selamanya tinggal di laut dan sesekali naik ke darat untuk mencari makan, bagaimana nasib anak-anak burung pelikan itu?”

Ia menenggelamkan wajahnya lagi. 

“Bodoh! Kamu itu ikan. Topengmu saja yang berbentuk beruang. Harusnya kamu di laut. Di laut juga ada tumbuhan, kan? Kamu bisa makan tumbuhan laut. Kenapa harus memikirkan anak burung pelikan kalau dirimu saja menderita dan hampir mati setiap saat.”

Nafas beruang tersengal. Setetes dua tetes air mengalir dari kedua matanya.

Perempuan muda itu tersentak. Matanya terbelalak lagi. Aku sedang bermeditasi atau berimajinasi ya?

Tak ingin ambil pusing,wanita itu memilih membaringkan diri di kasur dan mencoba untuk segera tidur agar tidak berpikir dan mempertanyakan bayangan yang ia lihat tadi.

****

“Kenapa masih diam saja? Tidakkah kamu tahu kamu tidak pernah bahagia?” 

Beruang menenggelamkan wajahnya. Agak lama. 

“Kamu itu cocoknya jadi pelukis bukan social media specialist” 

Untuk ketiga kalinya, mata perempuan muda itu terbelalak. Tadi beruang ikan berbicara padaku? Ia menampar pipi kirinya.”Aw,” keluhnya kesakitan. Ia menampar pipi kanannya lagi, dan mengeluh kesakitan juga.

“Aku sedang bermeditasi atau berimajinasi,ya?” 

Mengingat kalimat yang diucapkan beruang ikan tadi, matanya langsung tertuju pada kain putih yang menutupi sebuah benda yang tak lain adalah lukisan terbaiknya. Ia sengaja menutup lukisan itu dengan kain putih supaya dia lupa, supaya ia tidak melukis lagi karena dengan melukis membuatnya tidak fokus bekerja. Ya, pekerjaan tetapnya sekarang sebagai social media specialist di salah satu brand skincare sudah menghasilkan uang. Tidak banyak, tetapi setidaknya cukup untuk biaya hidupnya dan tambahan untuk biaya dapur keluarganya. Kalau sejak dulu ia fokus melukis, ia mungkin belum menghasilkan uang atau bahkan bisa jadi penghasilannya lebih banyak, siapa yang tahu? 

“Ah anak TK pun bisa melukis, Lis. Ngapain kamu ngelukis? Penghasilannya gak tetap, loh. Mending kamu kerja kantoran aja, sudah pasti dapat gaji setiap bulan.” Begitu ibunya menasehatinya ketika ia mengungkapkan keinginannya untuk melukis, dulu.

Ia menatap sambil menyentuh lukisannya, dari kiri ke atas, lalu ke kanan, dan ke bawah. Tanpa ada aba-aba, air matanya turun. 

Kamu itu cocoknya jadi pelukis bukan jadi social media specialist.

Kalimat beruang ikan itu terngiang-ngiang di kepalanya, membuat tangisnya pecah lalu terduduk di dekat lukisannya.

Ia teringat hari-hari di mana ia beradu pendapat dengan mantan pacarnya mengenai lukisannya dan masa depannya. 

“Kamu punya bakat dalam hal melukis, Lis. Banyak yang suka. Bahkan temanku ada yang ingin membelinya. Kamu bisa melukis, jualan lukisan dan jadikan itu side hustle kamu. Nanti kalau sudah oke penghasilan dari melukis, kamu bisa resign dari kantor dan fokus melukis. Seumur hidup kamu bisa melukis, Lis”

“Kamu itu pengecut, Lis. Kan, bisa kamu ngekos dekat kantor, trus pulang ke rumah sekali seminggu. Biar kamu gak capek di jalan, biar kamu punya waktu sendiri. Kamu juga bisa memantau keadaan rumah dengan video call ke mereka, kan? Kalau kamu mau, sekali atau dua kali seminggu aku bisa antar jemput kamu ke rumah kamu.”

“Maaf, Lis. Aku gak bisa hidup sama orang yang gak bisa memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri. Aku gak bisa mencintai orang yang belum mencintai dirinya sendiri.”

Tangisnya menjadi-jadi, kali ini diiringi dengan sesak di dada dan sakit kepala. Ia membenarkan posisinya, duduk tegak, dan menarik nafas panjang, berharap tangisnya bisa berhenti dalam satu tarikan nafas panjang.Ia mencoba untuk bermeditasi, entah bermeditasi atau berimajinasi, tujuannya adalah bisa berbicara pada beruang ikan. 

Dua menit keheningan itu berlangsung, namun gagal. Ia tidak bisa fokus, tangisnya semakin tidak terbendung. Ia lalu mengusap pipinya yang basah dengan tisu lalu berjalan menuju meja kerjanya. Dicarinya buku jurnalingnya, dan dituliskannya pesan untuk beruang ikan. Ia menulis sambil menangis. Kata demi kata dituliskannya tanpa perlu memikirkan apakah kalimat ini sudah sesuai kaida EYD atau tidak.Ditulisnya saja apa yang terlintas di pikirannya. Sesekali ia berhenti menulis untuk mengusap air yang membanjiri pipinya.

Beruang ikan. Terimakasih sudah datang dan membuatku sadar. Aku sudah terlalu jauh berjalan dari rumahku. Entah, sebenarnya aku tidak paham rumah yang mana maksudku, namun aku bisa rasa aku sedang berada di jalan yang tidak seharusnya aku pilih. Kamu ajaib! Kamu tahu isi hatiku. Bertahun-tahun hatiku selalu memintaku untuk fokus melukis tapi tidak pernah kuindahkan permintaannya. Aku terlalu terpaku pada logikaku dan kata orang-orang sekitarku. Sekarang keadaanku semakin tidak baik, aku sudah kehilangan banyak hal dan banyak orang, masih bisakah aku mengejar mimpiku untuk menjadi pelukis? Beruang ikan, aku tidak yakin pada diriku sendiri, bisakah kau yakinkan aku? Datang lah lagi beruang ikan


Minggu, 18 Juni 2023

Bukan Tempat Menyedihkan Lagi



Stasiun, tempat bertemu dan berpisah satu manusia dengan manusia lainnya. Setahun yang lalu, aku pernah mengatakan pada diriku, “stasiun adalah tempat paling menyedihkan setelah kampung halaman bapak.” Iya, itu aku setahun yang lalu. Setahun yang lalu saat aku berangkat dari Yogyakarta ke Bekasi. Setahun yang lalu, saat aku berpisah dengan pria yang paling dekat denganku saat itu.

Setahun yang lalu. Kukira perpisahan kami di stasiun itu hanya perpisahan sementara.Ternyata tidak juga. Perpisahan itu mungkin bisa jadi perpisahan untuk selamanya. Cerita kami selesai sebelum dimulai, di stasiun.

Lalu bagaimana sekarang? Stasiun adalah tempat pelarian terbaikku. Di stasiun aku melihat banyak manusia dengan segala keruwetan hidupnya yang terlihat di sorot matanya. Pagi hari, sekitar pukul 07.00-09.00, stasiun terlihat sangat sibuk. Setiap menitnya terdengar pengumuman kereta A akan segera tiba atau pintu kereta B akan ditutup dan segera berangkat. 

Di stasiun, aku bisa melakukan banyak hal. Aku bisa sekadar duduk, memasang headphone, lalu memutar playlist kesukaanku. Atau aku bisa sekadar duduk dan membaca buku. Atau bahkan aku memperhatikan manusia-manusia yang lewat, menebak-nebak, “kira-kira kakak cantik kemeja coklat itu tujuannya ke stasiun mana ya? Sedang mengejar apa sih dia sampai harus lari terbirit-birit begitu? Mengejar mimpinya atau mengejar mimpi orang lain? Atau jangan-jangan dia hanya sekadar mengejar sebuah keharusan? Keharusan bangun pagi, berangkat dari stasiun Bekasi ke stasiun BNI City demi sesuap nasi mungkin. Atau keharusan mengejar klien demi seperangkat skincare?” Aku tidak tahu. Tapi aku senang dengan pikiran kepo itu. 

Pada akhirnya, selama setahun di kota metropolitan ini, aku mendapat satu pemahaman baru, bahwa Stasiun bukan hanya tentang tempat pertemuan dan perpisahan. Stasiun bisa juga jadi arena lomba di pagi hari, dimana manusia berlari tanpa memperdulikan orang sebelahnya untuk bisa sampai di tujuan tepat waktu atau bahkan beberapa ingin sampai lebih cepat. Stasiun bisa jadi tempat pelarian diri seperti yang kulakukan akhir-akhir ini. Saat urusanku sudah selesai, aku tidak langsung pulang. Aku sengaja duduk santai di stasiun, aku sengaja menenggelamkan diri di tengah lautan manusia. Pun stasiun bisa jadi tempat transit untuk sekadar buang air kecil, seperti yang dilakukan entah siapa namanya, tapi aku yakin pasti ada.

Sekarang, stasiun bukan lagi tempat yang menyedihkan, bagiku. Entah tahun depan pemahamanku akan berganti lagi, siapa yang tahu? Tidak ada.

Bekasi, 18 Juni 2023

ms


Minggu, 16 April 2023

Anda Tidak Berhasil Melanjutkan Tahapan Evaluasi Lanjutan

 


“Kira-kira ada kejutan apa ya di bulan April tahun ini?” 


Aku sedang mengutak-atik google sheet pekerjaanku saat itu, hari kedua di bulan April. Dua bulan terakhir hidupku sangat baik. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang aku mau. Bahkan aku rela bekerja di Sabtu atau Minggu, karena aku suka. Aku bisa nge-kos lagi. Aku kenal teman-teman yang hebat. Belajar banyak hal baru pada pekerjaanku. Aku sangat-sangat menyukai kehidupanku saat itu.


Sejauh ini tidak ada yang tanda akan terjadinya hal buruk seperti April tahun-tahun sebelumnya. Akankah bulan April tahun ini akan berbeda ? Semua tampak baik-baik saja. Aku bahagia. 


Dua hari kemudian.

“Anda Tidak Berhasil Melanjutkan Tahapan Evaluasi Lanjutan.”

Pukul 18.42. Ketika aku dalam perjalanan dari kantor menuju kos. 

Hari itu, harusnya aku selesai bekerja pukul 16.30. Tetapi aku memilih untuk bekerja lebih lama dari sebelumnya karena saat itu pekerjaan sedang banyak-banyaknya.


“Ah, mungkin ini salah kirim,” gumamku dalam hati.

Aku melihat waktu pengiriman pesan tersebut. Sepuluh menit yang lalu. Langkahku terasa semakin cepat. Kuhiraukan bapak-ibu tetangga kosku yang biasa aku sapa saat pulang kerja.


“Sudah lima belas menit berlalu. Harusnya kalau salah kirim, kakaknya narik pesannya, dong.”


Akhirnya aku membalas pesan tersebut. Memastikan kalau besok aku sudah tidak bekerja lagi. Aku masih berharap kalau kakak HR tersebut membalas pesanku dan mengatakan kalau ia salah kirim. Tetapi tidak. Ia tidak salah kirim. Besok aku diminta ke kantor untuk mengembalikan aset kantor. Aku dinyatakan tidak berhasil. Dieliminasi. Melalui personal chat WA.


Lima menit aku menangis. Aku terdiam. 

Kenapa aku menangis? Karna aku dieliminasi. Aku pengangguran lagi. 

Kenapa aku dieliminasi? Sejauh ini aku tidak pernah mendapatkan evaluasi maupun feedback yang sangat jelek dari buddy maupun seniorku.


Aku mencoba bertanya kepada teman-temanku, apakah mereka mendapat pesan Berhasil atau Tidak Berhasil sepertiku. Mereka berhasil.


Kukatakan pada mereka, aku Tidak Berhasil.

“Ya kali lo gagal. Jelas-jelas lo paling rajin. Posisi lo juga paling aman.”

Kukirim bukti pesan dari kakak HR.

“Anjing, gak jelas ini penilaiannya. Gak terima gue”

“Ini gak adil. Gilak kali mereka gak bisa menilai.”

“Gak jelas banget, anjing.”

Begitu respon mereka.


Sebenarnya aku tidak ingin membandingkan hasil pekerjaanku dengan hasil pekerjaan salah satu temanku. Tapi, sangat jelas kalau hasil pekerjaanku lebih baik daripada hasil pekerjaannya. Dia pun mengakui itu. Tapi kenapa dia Berhasil aku Tidak Berhasil?


Marah. Kecewa. Rasanya ini tidak adil.

Aku diam lagi. Aku berkata kepada diriku sendiri:

“Kamu sudah bekerja sebaik mungkin. Kamu punya potensi. Kalau memang kamu dinyatakan tidak berhasil, bukan salah kamu. Bukan salah siapa-siapa. Tempat ini memang tidak cocok denganmu. Nanti, kita cari tempat kerja yang lebih baik lagi, ya.”


Seminggu setelah aku last day, aku mendapat informasi dari temanku yang masih bertahan di sana, alasan mengapa aku dinyatakan Tidak Berhasil. Dan, memang benar. Aku dieliminasi bukan karena hasil kerjaku buruk maupun aku melakukan kesalahan besar. Aku dieliminasi karena aku memang tidak cocok ada di sana. Aku pantas mendapatkan tempat kerja yang jauh lebih baik.


Waktunya memang sangat singkat. Tapi aku banyak belajar. Perihal ketidak cocokan itu & evaluasi-evaluasi lainnya, biarlah menjadi bekalku untuk kedepannya. Meskipun rasanya tidak adil, tetapi aku bersyukur. Aku bisa terbang lebih jauh lagi. Terima kasih. Aku pamit.


Untuk teman-teman yang ada di frame, terima kasih,ya. Semangat berjuang. Nanti kita nongkrong lagi.


Bekasi, 16 April 2023
ms

Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...