Senin, 11 Oktober 2021

Bermain Ayunan

 

Bermain ayunan yang menghadap laut kusebut dengan pulang. Tiang besi yang menopang dua ayunan sekaligus. Ayunanku dan ayunan kosong di sebelahku. di bawah dua ayunan tersebut, ada semak berduri. Mungkin kalian bertanya, bagaimana caranya aku bisa nyaman dan senang bermain ayunan yang di bawahnya ada bahaya yang akan menyebabkan luka. Aku sudah terbiasa dengan luka. Aku tidak takut dengan luka. Rasa tidak takut tersebut menyelamatkanku. Aku tidak pernah jatuh dan terluka lagi.

Pernah, ada seorang teman menghampiriku. Katanya dia suka biru, sama sepertiku. Biru laut dan biru langit yang menyatuh, sangat menenangkan. Lalu, ia banyak bercerita tentang biru lainnya. Lalu aku menyelanya, akan lebih baik jika ia bercerita sambil duduk di atas ayunan bukan? Kalian tahu apa yang ia lakukan?

Ia menjatuhkan dirinya pada semak berduri tersebut. Sontak, aku pun turun dari ayunan, dan ikut terjebak pada semak berduri tersebut. “Maaf,” katanya.

Ia lalu menoleh ke sebelah kananku. Jauh dari tempat kami terjatuh, terlihat tiang besi yang lebih kokoh, menopang satu ayunan. Ayunannya tampak jauh lebih bagus dan lebih besar daripada ayunanku. Namun, untuk bisa duduk di atas ayunan itu tidak lah mudah. Jalannya sempit, berlumpur, dan dikelilingi tanaman berduri. Tiang pegangannya pun berduri.  Ayunan di atas bukit

“Harusnya tempatku di sana. Aku ke sini untuk meminta bantuanmu.”

Aku mengernyitkan dahi, berpikir keras bagaimana caranya aku bisa membantunya ke sana, sementara aku tidak boleh meninggalkan ayunanku.

“Doakan aku.”


5 tahun berlalu...

Sekarang aku mengerti. aku mengerti mengapa ia suka biru dan ingin ke ayunan yang mirip seperti neraka itu. Aku tahu alasannya menghampiriku, namun tidak berani untuk duduk. Aku paham betul mengapa ia merasa bersalah setelah aku mencemaskannya. Aku mengerti mengapa ia meminta doa dariku.

Aku melepaskannya, dan mendoakannya. Katanya, luka yang ia dapat dari tempatku tidak berarti apa-apa dengan luka yang akan ia dapat di tempt barunya. Ia tidak akan mengingat luka itu. Ia hanya akan mengingat cerita kami tentang biru. Ia akan mengingatku juga, sebagai biru yang memar karena aku suka dengan tempat berbahaya, padahal ada banyak tempat yang lebih baik.

Kemudian, ada lagi yang datang. Belum apa-apa, sudah ingin duduk, tanpa permisi. Aku mencegahnya, dan mengusirnya.

Lalu, ada lagi yang datang. Si tukang cerita yang cerewet. Ia menceritakan kekagumannya pada purnama. Dia benar, purnama memang cantik, menenangkan seperti biru. Namun, purnama tidak selalu ada seperti biru laut dan biru langit.

“Boleh aku duduk?” Tanyanya sopan menoleh ke ayunan kosong di sebelahku.

Aku menatapnya penuh harap. Berharap, ia tahu risiko menduduki ayunan yang di bawahnya penuh dengan batu kerikil tajam. Berharap, ia tahu bahwa ayunan kosong di sebelahku itu sangat spesial bagiku. Aku tidak ingin sembarang orang duduk di sana.

Mungkin kalian bertanya, mengapa temanku yang bercerita tentang biru, langsung kuberi tawaran untuk duduk, sedangkan si tukang cerita tidak. Temanku yang menyukai biru adalah teman pertamaku, yang dengan tulus berteman denganku. Bersamanya, menatap laut yang sebenarnya terdengar bising karena ombak, menjadi suatu ketenangan yang tidak kudapatkan dimanapun.

Yogyakarta, 12 Desember 2020

Minggu, 24 Januari 2021

Penyembuh yang tak Sembuh




“Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan.”-Markus 15:31

Menurutku, ayat di atas merupakan penggambaran manusia pada umumnya. Sering sekali kita tidak bisa menyelamatkan diri kita sendiri ketika sedang dalam masalah, tetapi kita sering menyelamatkan orang lain ketika dalam masalah. Kita bisa membantu teman kita untuk keluar dari masalahnya, tetapi kita tidak bisa keluar dari masalah kita sendiri.

Selama ini, aku selalu beranggapan kalau aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri, tidak butuh bantuan orang lain. Aku memendamnya, menganggapnya sudah selesai, melupakannya, mencari pelarian. Sampai di satu titik, masalah itu beranak pinak, semakin rumit sampai aku tidak tahu akar masalahnya ada di mana.

Dulu, aku mengira masalah terbesarku adalah kehilangan sosok bapak. Ternyata tidak. Masalahku adalah kejadian-kejadian setelah kepergian bapak. Banyak yang berubah, banyak yang pergi, banyak yang hilang. Bahkan, aku sempat kehilangan mimpiku, kehilangan kepercayaan sama Tuhan.

Sebenarnya, aku sudah sadar tentang semua masalah-masalah itu, yang membuatku hebat mencari pelarian, tanpa pernah berpikir untuk ikhlas menerimanya. Ada beberapa masalah yang sudah berhasil kuterima keberadaannya, tetapi lebih banyak lagi yang masih belum kuterima.

Aku sadar, terlalu banyak yang kulupakan selama ini, terlalu banyak yang luput dari pemikiranku. Aku terlalu asyik berlari, tanpa ingin berdamai. Pertanyaan yang paling sering muncul di kepalaku adalah, “bagaimana caranya untuk menerima?” Pertanyaan yang jawabannya gak cuma, “sibuk-in diri kamu, capek-in diri kamu.” Jawabannya lebih dari itu, yaitu, “ikuti prosesnya, izinkan Tuhan menjadi penyembuh melalui tangan-tangan manusia yang Ia kirim ke hidupku karena aku tidak pernah bisa sembuh sendiri, aku butuh penyembuh untuk sembuh.” Semua penyembuh begitu, akan selalu butuh penyembuh untuk sembuh dari lukanya.

 Yogyakarta, Agustus 2020

Selasa, 19 Januari 2021

Senja, Purnama, dan Bintang

 


“Hai semesta mengapa malam ini kamu terlihat gelap sekali?”

Heh, purnama, yang selalu kutunggu setiap senja pergi. Kenapa dia harus datang disaat aku mulai melupakannya. Kenapa tidak sabit atau separuh saja yang datang. Meskipun sabit dan separuh tidak membawa bahagia karena cinta, setidaknya mereka juga tidak meninggalkan luka karena cinta.

“Apa kamu masih tidak berdamai dengan senja yang selalu datang dan pergi dengan keajaiban warnanya?” Tanyanya lagi.

“Kenapa kamu masih di sini? Bukankah sudah waktunya kamu berkelana ke tempat lain?” Aku tidak memedulikan pertanyaannya tadi. Tau apa dia tentang aku dan senja. Tidakkah dia tahu aku mencintai senja lebih dari apapun. Senja tidak pernah melukaiku seperti dia.  Meskipun senja selalu pergi namun dia berjanji akan kembali, dan dia selalu menepati janjinya. Tidak seperti purnama, aku benci tapi aku rindu.

“Kamu ini. Aku tanya apa, kamu jawab apa. Sudahlah lupakan, waktuku hampir habis. Ngomong-ngomong bintang di ufuk timur titip pesan. Besok dia akan datang menemanimu, namun telat karena harus menghibur anak kecil yang kesepian di Marsnesia.”

Bintang timurku. Kuakui, dia satu-satunya yang bisa membuatku lupa akan luka yang ditinggalkan oleh purnama. Aku tidak paham mengapa ia baik sekali padaku, padahal kami baru saja berteman. Namun, setidaknya dia belum pernah meninggalkan luka seperti purnama, ya, meskipun dia selalu membuatku kecewa dengan keterlambatannya setiap berkunjung ke tempatku, di selatan.

“Aku yakin, bintang timur itu pasti akan menjadi teman setiamu. Kuharap dia pun tidak memberikan luka seperti yang pernah kuberikan padamu. Salam untuk senja juga. Kemungkinan aku tidak akan bertemu kalian sampai waktu yang cukup lama. Di akhir tahun nanti, tidak usah menungguku, aku tidak akan mengunjungimu lagi.”

 

Yogyakarta, Juni 2019

ms

 

Luka Dari Rumah





Kamu terluka. Adalah luka yang disembunyikan oleh kedua orangtuamu selama bertahun-tahun. Surgamu telah berubah menjadi neraka. Rumahmu bukan lagi rumah untuk berpulang. Tidak ada kedamaian di sana. Tidak ada keharmonisan. Hanya ada ketidakpercayaan, kecurigaan, dan perselisihan yang berulang-ulang. Kamu pun pergi menyelami kesucian yang pernah kamu mimpikan di masa kecil. Kamu berjuang sendiri di sana, seolah-olah menutup mata dan telinga akan apa yang terjadi di rumahmu.

Tidak teman. Itu tidak benar. Kamu bukan lagi anak kecil. Tahun depan kamu sudah berkepala dua. Sudah sepantasnya kamu berbicara. Mengatakan kebenaran kepada mereka. Membawa damai ke rumahmu. Menyatukan yang hampir terpecah bela. Kamu berhak atas itu. Namun, aku terlambat. Kamu sudah menyelaminya terlalu dalam. Kamu hilang di kedalaman mimpimu.

Berjuanglah! Selami lebih dalam lagi sampai kamu menemukan apa yang kamu cari. Namun, kalau suatu hari nanti, kamu menyadari apa yang terjadi di rumahmu, kembalilah. Jangan sungkan untuk menangis dan berkata, “buat apa aku menjadi suci kalau aku mengabaikan rumahku?”


Menemui Mey 2022

  Ruang persegi yang kecil dan gelap. Aku tidak asing dengan tempat ini. Tempatku menangis, tertawa, mengerjakan skripsi, dan tempatku tidak...